Preman. Kata itu yang muncul pertama kali saat Aku mengingat-ingat lokasi sekolahku, yang ada di kawasan Bulungan, sekitar-sekitar Blok-M. Dalam benakku, Aku akan bertemu dengan pria-pria gahar, berkulit kelam, berbadan kekar, bertato dan sering melakukan tindak pemerasan. Ibuku pun juga sudah mengingatkan akan kerasnya Blok-M. Kalau ibukota lebih kejam dari ibu tiri, Blok-M ini lebih kejam dari ibukota, begitu ibaratnya. Dan benar, hari itu Aku bertemu dengan salah satu preman penunggu Blok-M!
Pertemuan itu terjadi di suatu siang, saat Aku dan seorang teman sedang naik bis menuju rumah. Seperti biasa, Aku dan temanku itu naik kopaja 614, jurusan Cipulir-Ps. Minggu. Aku dan temanku duduk di kursi paling belakang. Padahal di area lain, masih banyak kursi tak diduduki. Maklum, masih songong-songongnya jadi anak SMA. Selepas 20-an meter dari halte Bulungan, tempat kami naik bus, lampu merah menghadang laju perjalanan pulang kami.
Sseorang pria lalu menaiki bus yang kami tumpangi dan segera duduk di sebelah kiriku. Dengan suara pelan namun kasar dia berkata,"sini duit lu!"
Aku kaget! Jantungku mulai berdebar-debar.
"Gak ada bang."
"Bo'ong lo!"
"Bener bang.."
Kulihat tatapan mata si preman, penuh keseraman. Badannya ternyata tak segarang yang kuduga sebelumnya. Ia berubuh standar; tidak besar atau kecil. Yang membedakan ia dengan kami hanyalah kenekatannya.
Teman yang di sebelah kiriku sudah dari tadi membuang muka dari arah TKP. Pemalak yang melihat tingkahnya, tak tinggal diam.
"Heh, lo! Minta duit lo!"
Temanku masih mencoba melengos. Preman itu pun melayangkan tangannya ke kaki temanku. Dengan terpaksa, temanku pun mulai menengok.
"Gak ada bang, tinggal buat ongkos," sambil mengeluarkan uang 2000 rupiah.
"Bo'ong lo semua!!"
Ia lalu menarik tas temanku dan mulai membuka setiap bagian yang bisa dibuka. Sepertinya ia lebih tertarik dengan tas itu karena lebih besar dari tasku. Mungkin diasumsikan, tas yang lebih besar pastinya lebih mahal, sehingga pemiliknya pasti lebih punya uang.
Satu-per satu ruang dalam tas digeledahnya. Buku-buku di dalamnya pun mulai diacak-acak. tak menemukan di ruang utama, ia pindah ke ruang yang lebih kecil. Dan dugaanya benar. Di ruang yang lebih kecil itu, ia menemukan uang temanku. Jumlahnya beberapa puluh ribu rupiah. Temanku hendak mempergunakan uang itu untuk membayar buku pelajaran. Tapi apa daya, kini sudah berpindah tangan ke tukang palak, bukan ke pihak sekolah.
Setelah puas dengan hasil rampasannya, ia kembali padaku. Kantung kemejaku dirogohnya. Uang beberapa ribu rupiah ditemukan dan digenggamnya.
"Jangan bang, itu buat ongkso pulang," Aku mengiba.
Mungkin karena tak tega, beberapa ribu uang itu dikembalikannya lagi ke dalam kantungku.
Kemudian, tasku jadi korban berikutnya. Dan jelas sekali ia semakin tidak puas. Tasku hanyalah seoonggok kain berukuran sedikit lebih besar dari kertas A4 dan tebalnya kira-kira hanya setebal buku 200 halaman. Warnanya hitam, sudah lusuh dan tak tertutup. Bentuknya seperti sebuah kotak pipih, dengan satu sisi kotak tidak terjahit dan ada gantungan untuk pundak. Dan terdapat sebuah logo bulat besar bertuliskan Generasi Biru Slank.
Setelah mengobok-obok, bisa kupastikan ia hanya akan bisa mengambil sebuah buku tulis dan beberapa pensil. Barang yang tentunya tak menguntungkannya.
"Dompet lo mana?!" belum puas rasa penasaran sang preman.
"Gak punya dompet bang."
Sekali lagi ia tak percaya. Dirogohnya kantung celananku. Sempat khawatir juga, kalau si preman memang suka merogoh-rogoh kantung pemuda SMA. Dan sekali lagi, ia harus menelan rasa kecewanya, karena Aku tak pernah membawa dompet. Bahkan Aku tak punya sebuahpun dompet!
Masih belum puas, ia mulai melirik ke arah bawah; sepatuku. Hasilnya, ia hanya melihat sebuah sepatu dengan merek sama sekali tak terkenal, seharga beberapa puluh ribu saja, tidak mencilak atau mentereng dan tak akan laku banyak jika dijual di pasar Taman Puring (disinyalir, pasar inilah tempat para pemalak-pemalak menjual barang palakannya). Sementara kulihat si pemalak, sepatunya terbuat dari kulit. Pastinya lebih mahal dari sepatuku.
Setelah ini, sang preman menyerah sudah. Mungkin uang buku milik temanku sudah cukup baginya; entah cukup untuk makan seminggu atau untuk mabuk-mabukan malam ini. Ia pun segera berdiri dari posisinya, lalu turun dari bus yang masih berhenti di lampu merah, seraya berkata, "Makasih ya!"
Sialan, kupikir. Habis dihisap madunya, masih sempat meledek dengan bilang terima kasih! Apalagi, temanku kehilangan uang untuk membayar buku pelajaran. Aku sih tak terlalu pusing, karena tak terlalu rugi banyak. Namun bagi temanku, kejadian ini sudah cukup untuk membuatnya tidak mau duduk di bus deretan paling belakang.
Pertemuan itu terjadi di suatu siang, saat Aku dan seorang teman sedang naik bis menuju rumah. Seperti biasa, Aku dan temanku itu naik kopaja 614, jurusan Cipulir-Ps. Minggu. Aku dan temanku duduk di kursi paling belakang. Padahal di area lain, masih banyak kursi tak diduduki. Maklum, masih songong-songongnya jadi anak SMA. Selepas 20-an meter dari halte Bulungan, tempat kami naik bus, lampu merah menghadang laju perjalanan pulang kami.
Sseorang pria lalu menaiki bus yang kami tumpangi dan segera duduk di sebelah kiriku. Dengan suara pelan namun kasar dia berkata,"sini duit lu!"
Aku kaget! Jantungku mulai berdebar-debar.
"Gak ada bang."
"Bo'ong lo!"
"Bener bang.."
Kulihat tatapan mata si preman, penuh keseraman. Badannya ternyata tak segarang yang kuduga sebelumnya. Ia berubuh standar; tidak besar atau kecil. Yang membedakan ia dengan kami hanyalah kenekatannya.
Teman yang di sebelah kiriku sudah dari tadi membuang muka dari arah TKP. Pemalak yang melihat tingkahnya, tak tinggal diam.
"Heh, lo! Minta duit lo!"
Temanku masih mencoba melengos. Preman itu pun melayangkan tangannya ke kaki temanku. Dengan terpaksa, temanku pun mulai menengok.
"Gak ada bang, tinggal buat ongkos," sambil mengeluarkan uang 2000 rupiah.
"Bo'ong lo semua!!"
Ia lalu menarik tas temanku dan mulai membuka setiap bagian yang bisa dibuka. Sepertinya ia lebih tertarik dengan tas itu karena lebih besar dari tasku. Mungkin diasumsikan, tas yang lebih besar pastinya lebih mahal, sehingga pemiliknya pasti lebih punya uang.
Satu-per satu ruang dalam tas digeledahnya. Buku-buku di dalamnya pun mulai diacak-acak. tak menemukan di ruang utama, ia pindah ke ruang yang lebih kecil. Dan dugaanya benar. Di ruang yang lebih kecil itu, ia menemukan uang temanku. Jumlahnya beberapa puluh ribu rupiah. Temanku hendak mempergunakan uang itu untuk membayar buku pelajaran. Tapi apa daya, kini sudah berpindah tangan ke tukang palak, bukan ke pihak sekolah.
Setelah puas dengan hasil rampasannya, ia kembali padaku. Kantung kemejaku dirogohnya. Uang beberapa ribu rupiah ditemukan dan digenggamnya.
"Jangan bang, itu buat ongkso pulang," Aku mengiba.
Mungkin karena tak tega, beberapa ribu uang itu dikembalikannya lagi ke dalam kantungku.
Kemudian, tasku jadi korban berikutnya. Dan jelas sekali ia semakin tidak puas. Tasku hanyalah seoonggok kain berukuran sedikit lebih besar dari kertas A4 dan tebalnya kira-kira hanya setebal buku 200 halaman. Warnanya hitam, sudah lusuh dan tak tertutup. Bentuknya seperti sebuah kotak pipih, dengan satu sisi kotak tidak terjahit dan ada gantungan untuk pundak. Dan terdapat sebuah logo bulat besar bertuliskan Generasi Biru Slank.
Setelah mengobok-obok, bisa kupastikan ia hanya akan bisa mengambil sebuah buku tulis dan beberapa pensil. Barang yang tentunya tak menguntungkannya.
"Dompet lo mana?!" belum puas rasa penasaran sang preman.
"Gak punya dompet bang."
Sekali lagi ia tak percaya. Dirogohnya kantung celananku. Sempat khawatir juga, kalau si preman memang suka merogoh-rogoh kantung pemuda SMA. Dan sekali lagi, ia harus menelan rasa kecewanya, karena Aku tak pernah membawa dompet. Bahkan Aku tak punya sebuahpun dompet!
Masih belum puas, ia mulai melirik ke arah bawah; sepatuku. Hasilnya, ia hanya melihat sebuah sepatu dengan merek sama sekali tak terkenal, seharga beberapa puluh ribu saja, tidak mencilak atau mentereng dan tak akan laku banyak jika dijual di pasar Taman Puring (disinyalir, pasar inilah tempat para pemalak-pemalak menjual barang palakannya). Sementara kulihat si pemalak, sepatunya terbuat dari kulit. Pastinya lebih mahal dari sepatuku.
Setelah ini, sang preman menyerah sudah. Mungkin uang buku milik temanku sudah cukup baginya; entah cukup untuk makan seminggu atau untuk mabuk-mabukan malam ini. Ia pun segera berdiri dari posisinya, lalu turun dari bus yang masih berhenti di lampu merah, seraya berkata, "Makasih ya!"
Sialan, kupikir. Habis dihisap madunya, masih sempat meledek dengan bilang terima kasih! Apalagi, temanku kehilangan uang untuk membayar buku pelajaran. Aku sih tak terlalu pusing, karena tak terlalu rugi banyak. Namun bagi temanku, kejadian ini sudah cukup untuk membuatnya tidak mau duduk di bus deretan paling belakang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar