Tiap angkatan di 70 memiliki nama, mulai dari yang pertama, hingga angkatanku. Dampak dari pemberian nama ini adalah adanya semacam kompetisi agar nama angkatannyalah yang paling "harum". Keharuman ini biasa dicium dari prestasinya, baik itu prestasi positif maupun negatif. Prestasi positifnya misalnya, NEM tertinggi, juara ini, mendapat penghargaan itu, dsb. Nah, prestasi negatifnya misalnya angkatan paling jagoan, paling sering tubir, paling sering menang tubir atau angkatan yang berani melawan kakak kelasnya. Poin terakhir inilah yang diindoktrinasi oleh agit kepada kami yang nantinya akan berbuntut panjang bagi angkatan kami, dan secara umum pada 70.
Ketika Aku masuk 70, angkatanku adalah angkatan ke-17, sedangkan Zapa (sebutan untuk agit Zapatista), angkatan 15. Zapa selalu menekankan pada kami,
"Angkatan ganjil itu paling jaya di 70! Angkatan genap tuh katro-katro! Jangan takut sama angkatan genap!"
Karena itu kami pun jadi lebih berani pada aud, Somoza. Apalagi kepada angkatan berikutnya.
Setelah diberi "penataran" tersebut, kami lalu diminta berkeliling di lantai 3 dan 2 gedung sekolah.
Sekolahku, yang Aku baru tahu ukurannya sangat besar setelah pendaftaran ulang, terdiri dari 3 buah gedung. Gedung pertama, jika dilihat dari atas, berbentuk huruf H, namun dengan 2 buah garis horizontal di dekat ujung atas dan bawahnya. Gedung ini adalah gedung utama 70. Lantai 1 berisi ruang guru, perpustakaan, ruang OSIS, dsb. Lantai 2 diisi oleh aud dan seluruh agit. Lantai 3 diisi oleh kami dan sebagian aud.
Gedung kedua adalah gedung berbentuk huruf L, yang sebagian besar tak berpenghuni dan hanya berisi laboratorium. Gedung ketiga ada di tengah kedua gedung tadi, dan berfungsi sebagai ruang piket.
Kembali ke "penataran" tadi, kami lalu diminta untuk berkeliling di lantai 3 dan 2, untuk melewati kelas aud. Kami pun (kalau tidak salah) diinstruksikan oleh agit untuk menggedor pintu kelas tersebut.
Selama berlangsungnya "long march" ini, kegaduhan pun terjadi. Mulai dari siswa-siswa lain yang bingung melihat apa yang sedang terjadi, aud yang menatapi kami dengan tajam, teriakan-teriakan tidak jelas yang mulai terdengar, hingga munculnya suara tangan-tangan menghantam pintu kelas.
Dari ujung ke ujung kami berjalan beiringan, lalu turun dari lantai 3 ke lantai 2. Satu per satu kelas aud kami lewati. Jika berani, kami gedor-gedor pintunya. Jika tidak, ikuti saja aliran utas yang ada di depan dan menganggap kegiatan ini sebagai prosesi baris-berbaris saja.
Tak ada satupun guru yang mengawasi ketika itu. Justru agit yang terlihat duduk-duduk mengawasi kami dari kejauhan. Kami lebih takut pada mereka daripada kepada guru, walau guru bisa menentukan kelulusan dan mereka tidak.
Setelah seluruh kelas 2 selesai disisir, kami pun naik lagi ke lantai 3 dan diperbolehkan masuk ke kelas masing-masing. Kegaduhan pun mulai surut dan sejenak bisa menurunkan ketegangan yang sempat kami alami.
Sejak saat itulah, bumbu-bumbu perseteruan kami dengan Somoza (yang namanya diplesetkan oleh Zapa menjadi somay) mulai muncul, yang nantinya akan memuncak saat kami menjadi aud.
Ketika Aku masuk 70, angkatanku adalah angkatan ke-17, sedangkan Zapa (sebutan untuk agit Zapatista), angkatan 15. Zapa selalu menekankan pada kami,
"Angkatan ganjil itu paling jaya di 70! Angkatan genap tuh katro-katro! Jangan takut sama angkatan genap!"
Karena itu kami pun jadi lebih berani pada aud, Somoza. Apalagi kepada angkatan berikutnya.
Setelah diberi "penataran" tersebut, kami lalu diminta berkeliling di lantai 3 dan 2 gedung sekolah.
Sekolahku, yang Aku baru tahu ukurannya sangat besar setelah pendaftaran ulang, terdiri dari 3 buah gedung. Gedung pertama, jika dilihat dari atas, berbentuk huruf H, namun dengan 2 buah garis horizontal di dekat ujung atas dan bawahnya. Gedung ini adalah gedung utama 70. Lantai 1 berisi ruang guru, perpustakaan, ruang OSIS, dsb. Lantai 2 diisi oleh aud dan seluruh agit. Lantai 3 diisi oleh kami dan sebagian aud.
Gedung kedua adalah gedung berbentuk huruf L, yang sebagian besar tak berpenghuni dan hanya berisi laboratorium. Gedung ketiga ada di tengah kedua gedung tadi, dan berfungsi sebagai ruang piket.
Kembali ke "penataran" tadi, kami lalu diminta untuk berkeliling di lantai 3 dan 2, untuk melewati kelas aud. Kami pun (kalau tidak salah) diinstruksikan oleh agit untuk menggedor pintu kelas tersebut.
Selama berlangsungnya "long march" ini, kegaduhan pun terjadi. Mulai dari siswa-siswa lain yang bingung melihat apa yang sedang terjadi, aud yang menatapi kami dengan tajam, teriakan-teriakan tidak jelas yang mulai terdengar, hingga munculnya suara tangan-tangan menghantam pintu kelas.
Dari ujung ke ujung kami berjalan beiringan, lalu turun dari lantai 3 ke lantai 2. Satu per satu kelas aud kami lewati. Jika berani, kami gedor-gedor pintunya. Jika tidak, ikuti saja aliran utas yang ada di depan dan menganggap kegiatan ini sebagai prosesi baris-berbaris saja.
Tak ada satupun guru yang mengawasi ketika itu. Justru agit yang terlihat duduk-duduk mengawasi kami dari kejauhan. Kami lebih takut pada mereka daripada kepada guru, walau guru bisa menentukan kelulusan dan mereka tidak.
Setelah seluruh kelas 2 selesai disisir, kami pun naik lagi ke lantai 3 dan diperbolehkan masuk ke kelas masing-masing. Kegaduhan pun mulai surut dan sejenak bisa menurunkan ketegangan yang sempat kami alami.
Sejak saat itulah, bumbu-bumbu perseteruan kami dengan Somoza (yang namanya diplesetkan oleh Zapa menjadi somay) mulai muncul, yang nantinya akan memuncak saat kami menjadi aud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar