Setelah memiliki nama angkatan sendiri, kami pun dibekali tempat tongkrongan sendiri. Lokasinya pun tak jauh, kurang lebih 300-400 meter dari gerbang sekolah. Letaknya di sebelah Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP). Namanya Abor!
Abor itu singkatan dari apotik borobudur (kalau Aku tidak salah). Konon, angkatan jaman dulu, ada yang sering nongkrong disini dan menamakan dirinya dengan sebutan Abor.
Kami biasa ke abor kala istirahat pengayaan, mulai jam 12.00-13.00. Berbondong-bondong, biasanya kami keluar dan menuju kesana. Dan disana, biasanya kami makan, ngobrol, saling kenalan,dll.
Sampai pada suatu hari..
--
Nama angkatan kami belum dikenal banyak orang. Nah, menurut kami, cara efektif untuk mencapai ketenaran tentunya dengan tubir. Semakin banyak tubir=semakin banyak kami menyebut nama angkatan=semakin banyak pula siswa sekolah lain kenal angkatan kami. Maka, kami kemudian memutuskan melakukan penyerangan terhadap SMA Triguna yang letaknya tak jauh dari abor.
Sekitar 10-20an anak Trabal berkumpul di abor saat jam istirahat. Ada yang terlihat memunguti batu-batu. Ada yang menyembunyikan penggaris besi. Dan ada yang menyiapkan sapu tangan sebagai pelindung agar wajahnya tak dikenali. Setelah siap, segera kami bergerak menuju Triguna.
Begitu dekat dengan sasaran, beberapa dari kami memancing siswa Triguna keluar dari sekolahnya. Teriakan-teriakan bernada dan berisi provokasi pun segera terdengar bersahut-sahutan. Nama angkatan kami pun terdengar berkumandang diantaranya, seperti terompet yang ditiup saat hendak perang. Strategi ini membuahkan hasil dan mereka pun keluar sarang.
"1..!2...!!3....!!!" komando serbuan lantas terdengar. Teriakan-teriakan lainnya segera bermunculan; biasanya isinya berupa kata umpatan. Batu pun mulai beterbangan di sana sini. Suara keras tumbukan aspal jalanan dengan batu juga mulai muncul.
Kulihat seorang temanku, membawa tas di sampingnya, sambil merogoh isi tas tersebut. Saat hampir dekat dengan Triguna, dikeluarkanlah penggaris besi hasil modifikasinya sendiri. 30 cm panjangnya, dengan sisi-sisi yang telah diasah. Tapi sepertinya, penggaris itu tak sempat memakan korban. Mungkin ia masih ragu menggunakannya. Beberapa lainnya juga masih terlihat menahan diri untuk terlibat dalam penyerbuan ini.
Aku pun tak ingin melewatkan kejadian ini. Maklum, ketika SMP, penyeranganku ke SMP lain berakhir di depan salon. Waktu itu, saat hendak menyerang, suara sirene polisi terdengar kencang. Kamipun berlari berhamburan membubarkan diri. Aku dan beberapa temanku memutuskan untuk sok tenang, duduk-duduk sambil pura-pura tak tahu apa-apa di depan sebuah salon.
Kuambil segera, beberapa batu yang kulihat. Kusiapkan tenaga untuk melentingkan batu itu, dan iyaaaak! Walau dengan malu dan takut takut, batu terlempar dengan lancarnya ke arah depan. Tak tahu Aku, apakah dia mengenai sasaran atau hanya akan menimbulkan suara seperti suara perkusi saja. Beberapa batu lain segera bernasib sama.
Saat sedang asyik mempraktikkan teori gravitasi dari Newton, tiba-tiba sebuah mobil polisi datang ke TKP. Kami terkaget.
"Isilop!! Ada isilop!"
Kami perlahan mundur dari penyerangan. Penggaris besi yang tadinya teracung acung, kini sudah bersembunyi kembali di tas temanku.
Kami pun hendak menghentikan serangan, sampai..
"Udah, serang aja!" kata seorang polisi di dalam mobil itu. Kontan, kami pun bergerak semakin gencar ke arah Triguna.
Teriakan semakin menjadi-jadi. Batu-batu kembali berlontaran, namun kali ini lebih banyak. Kami semakin semangat menggempur karena merasa sudah mencium bau kemenangan. Kehadiran polisi di arena tawuran tak menggentarkan kami. Siswa Triguna pun hanya bisa bertahan dari serbuan kami sambil balas menimpuk dari depan gerbang sekolahnya.
Setelah kurang lebih 20 menit, pertempuran pun berhenti. Sudah tak ada lagi batu-batu yang terlempar. Yang tersisa tinggalah teriakan-teriakan umpatan dan juga "kartu nama" kami di siswa-siswa Triguna,
"TRABALISTA NI!"
Kami pun menutup tubir pertama angkatan Trabalista dan bergegas kembali ke sekolah, karena sebentar lagi jam 13.00 dan gerbang sekolah akan segera ditutup.
Abor itu singkatan dari apotik borobudur (kalau Aku tidak salah). Konon, angkatan jaman dulu, ada yang sering nongkrong disini dan menamakan dirinya dengan sebutan Abor.
Kami biasa ke abor kala istirahat pengayaan, mulai jam 12.00-13.00. Berbondong-bondong, biasanya kami keluar dan menuju kesana. Dan disana, biasanya kami makan, ngobrol, saling kenalan,dll.
Sampai pada suatu hari..
--
Nama angkatan kami belum dikenal banyak orang. Nah, menurut kami, cara efektif untuk mencapai ketenaran tentunya dengan tubir. Semakin banyak tubir=semakin banyak kami menyebut nama angkatan=semakin banyak pula siswa sekolah lain kenal angkatan kami. Maka, kami kemudian memutuskan melakukan penyerangan terhadap SMA Triguna yang letaknya tak jauh dari abor.
Sekitar 10-20an anak Trabal berkumpul di abor saat jam istirahat. Ada yang terlihat memunguti batu-batu. Ada yang menyembunyikan penggaris besi. Dan ada yang menyiapkan sapu tangan sebagai pelindung agar wajahnya tak dikenali. Setelah siap, segera kami bergerak menuju Triguna.
Begitu dekat dengan sasaran, beberapa dari kami memancing siswa Triguna keluar dari sekolahnya. Teriakan-teriakan bernada dan berisi provokasi pun segera terdengar bersahut-sahutan. Nama angkatan kami pun terdengar berkumandang diantaranya, seperti terompet yang ditiup saat hendak perang. Strategi ini membuahkan hasil dan mereka pun keluar sarang.
"1..!2...!!3....!!!" komando serbuan lantas terdengar. Teriakan-teriakan lainnya segera bermunculan; biasanya isinya berupa kata umpatan. Batu pun mulai beterbangan di sana sini. Suara keras tumbukan aspal jalanan dengan batu juga mulai muncul.
Kulihat seorang temanku, membawa tas di sampingnya, sambil merogoh isi tas tersebut. Saat hampir dekat dengan Triguna, dikeluarkanlah penggaris besi hasil modifikasinya sendiri. 30 cm panjangnya, dengan sisi-sisi yang telah diasah. Tapi sepertinya, penggaris itu tak sempat memakan korban. Mungkin ia masih ragu menggunakannya. Beberapa lainnya juga masih terlihat menahan diri untuk terlibat dalam penyerbuan ini.
Aku pun tak ingin melewatkan kejadian ini. Maklum, ketika SMP, penyeranganku ke SMP lain berakhir di depan salon. Waktu itu, saat hendak menyerang, suara sirene polisi terdengar kencang. Kamipun berlari berhamburan membubarkan diri. Aku dan beberapa temanku memutuskan untuk sok tenang, duduk-duduk sambil pura-pura tak tahu apa-apa di depan sebuah salon.
Kuambil segera, beberapa batu yang kulihat. Kusiapkan tenaga untuk melentingkan batu itu, dan iyaaaak! Walau dengan malu dan takut takut, batu terlempar dengan lancarnya ke arah depan. Tak tahu Aku, apakah dia mengenai sasaran atau hanya akan menimbulkan suara seperti suara perkusi saja. Beberapa batu lain segera bernasib sama.
Saat sedang asyik mempraktikkan teori gravitasi dari Newton, tiba-tiba sebuah mobil polisi datang ke TKP. Kami terkaget.
"Isilop!! Ada isilop!"
Kami perlahan mundur dari penyerangan. Penggaris besi yang tadinya teracung acung, kini sudah bersembunyi kembali di tas temanku.
Kami pun hendak menghentikan serangan, sampai..
"Udah, serang aja!" kata seorang polisi di dalam mobil itu. Kontan, kami pun bergerak semakin gencar ke arah Triguna.
Teriakan semakin menjadi-jadi. Batu-batu kembali berlontaran, namun kali ini lebih banyak. Kami semakin semangat menggempur karena merasa sudah mencium bau kemenangan. Kehadiran polisi di arena tawuran tak menggentarkan kami. Siswa Triguna pun hanya bisa bertahan dari serbuan kami sambil balas menimpuk dari depan gerbang sekolahnya.
Setelah kurang lebih 20 menit, pertempuran pun berhenti. Sudah tak ada lagi batu-batu yang terlempar. Yang tersisa tinggalah teriakan-teriakan umpatan dan juga "kartu nama" kami di siswa-siswa Triguna,
"TRABALISTA NI!"
Kami pun menutup tubir pertama angkatan Trabalista dan bergegas kembali ke sekolah, karena sebentar lagi jam 13.00 dan gerbang sekolah akan segera ditutup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar