Sabtu, 07 Juli 2012

Cerbung - Abu-Abu Atau Kelabu?

written by : F.A. Triatmoko H.S

Setelah menunggu lama, akhirnya angkatanku memiliki jaket sendiri; sebuah jaket bertuliskan nama angkatan Trabalista 70.

Beberapa bulan sebelumnya, sebuah wacana didengungkan: angkatan kami akan membuat jaket angkatan, mengikuti tradisi dari angkatan-angkatan sebelumnya. Zapatista, agitku berjaket cokelat. Somoza, audku berjaket merah marun. Garnizoon, angkatan yang baru saja menjadi alumni, memiliki jaket biru. Platoon, angkatan sebelumnya, berjaket hijau tentara.

Oleh karena itu, seorang bendahara dipilih untuk mengurusi keuangan pembuatan jaket . Seorang anak dari tiap kelas ditugasi peran bendahara. Dia yang nantinya akan mencatat siapa saja yang telah dan belum membayar serta menjadi debt collector yang kejam terhadap setiap pengutang.

Jaket yang sedang dalam proses (karena Aku tak tahu menahu masalah pemilihan warna jaket dan tulisan, model jaket, logo angkatan, dsb) konon dihargai sebesar Rp.60.000. Kala itu, uang sebesar RP.60.00 adalah jumlah yang sangat besar buatku. Bayangkan saja, ongkosku kala itu hanya Rp.6000 rupiah/hari (7000 jika ada pelajaran olahraga). Dua ribu rupiah untuk biaya numpang angkot dan bis pulang pergi, 2000 rupiah untuk makan di kantin, 500 untuk beli minum, dan sisanya untuk jaga-jaga atau ditabung. Karena minimnya dana yang kumiliki, Aku harus meminta uang dari ibu, dan harus nyicil membayar jaket angkatan.

Beberapa bulan berlalu, jaket pun jadi jua. Aku tahu dari seorang kawan sekelas, bahwa jaket angkatan gelombang pertama sudah selesai dibuat. Semua jadi tak sabar dibuatnya; tak sabar ingin segera memiliki, memakai dan merasakan kebanggan menjadi sebuah angkatan di SMA 70.

Ketika istirahat, Aku dan beberapa teman sekelas bergegas ke kelas, dimana jaket angkatanku dibagikan. Distribusi jaket hari itu dipusatkan di kelas 1 G, karena pihak pembuatnya berkelas di situ. Di dalam kelas, puluhan anak-anak satu angkatanku sudah berkumpul. Banyak diantara mereka yang baru kali itu kulihat mukanya. Mungkin mereka berada di kelas ujung sana, ibarat dari Sabang sampai Merauke dari kelasku.

Lalu, di sela-sela wajah-wajah tak kukenal, kulihat barang yang sudah diidam-idamkan: jaket angkatan kami. Warnanya abu-abu. Itulah warna yang akan jadi penanda angkatan Trabalista, hingga nanti angkatan kami terlupakan. Di punggung agak ke tengah, terdapat tulisan berwarna merah dengan outline hitam: TRABALISTA 70; dengan kuruf kapital semua, dan bagian bawahnya melengkung hingga hampir menyerupai huruf U terbalik.

Lalu, jaket itu pun segera diambil seorang anak yang sudah beberapa kali kulihat. Badannya besar, kulitnya hitam, dengan muka sedikit bercambang, siapapun pasti takut dengannya. Jaket itu lalu segera dibukanya, siap untuk dikenakan. Karena jaket itu bukan jaket sembarangan; membawa nama angkatan kami, sehingga harus dijaga dengan segenap jiwa dan raga, maka pemakainya pun harus siap jika harus bertahan dari serangan siapapun yang hendak merebutnya. Karena itu, setiap anak yang hendak mencobanya, wajib merasakan serangan lebih dulu. Tapi, serangannya berasal dari kami, teman seangkatan, dan bukan serangan sungguhan.

Perlahan-lahan, teman besarku itu mulai menyiapkan diri. Tangan kanannya sedikit demi sedikit mulai diselipkan ke lengan jaket. Lengan kirinya menyusul. Begitu jaket tepat terpasang, puluhan anak laki-laki angkatanku berhamburan menyerbu si pria besar berjaket abu-abu itu. Dorongan dari berbagai segi mulai dirasakan si pria besar. Pukulan, mulai dari tamparan telapak tangan hingga tinju kepalan tangan, juga mulai mendarati badannya. Beberapa tendangan pun bersarang juga. Tangan-tangan lain mulai menariki jaket abu-abu baru itu, serasa seorang penjambret sedang menarik kalung ibu-ibu. Debu-debu mulai beterbangan, memenuhi seisi kelas. Suara-suara teriakan tanda kesenangan, mulai terdengar di sana sini.

Aku pun tak mau ketinggalan. Karena kumpulan pemukul dan penendang sudah penuh, Aku segera mencari peran lain. Kulihat sebuah meja sedang nganggur di dekat pria korban penyerangan itu. Kunaiki saja, dan setelah siap, ku melompat ke arah pria malang itu. BOOOM! Telapak sepatuku mendarat dengan mulus di punggungnya, dan meninggalkan bekas; jiplakan sol sepatu di bajunya.

Tak mau aksiku diketahui korban, segera Aku keluar dari arena penyerangan dan meninggalkan si pria besar dalam keadaan sebal karena terinjak, sekaligus bangga karena telah lulus ujian penggunaan jaket. Penonton dan penyerang pun segera bertepuk tangan, menyemangati si pria besar.

Keriangan itu pun segera terganggu oleh bel masuk yang sudah berbunyi. Lokasi penyerangan pun mulai tertib kembali, seperti kelas sedia kala. Aku dan teman-teman kembali ke kelas pojok. Rasa senang dan antusias menyambut jaket abu-abu itu, membuatku semakin tak sabar untuk segera menggenggam dan memakainya. Tapi satu pertanyaan terngiang di kepalaku,"salam kami akan salam abu-abu atau salam kelabu ya?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar