Beberapa hari awal bersekolah di 70, telah kulalui. Namun itu belum seberapa. Banyak hal ajaib lainnya yang akan segera kualami. Salah satunya adalah mengalami budaya SMA ini.
Salah satu budaya tersebut adalah "menjejer" siswa kelas 1. Menjejer itu merujuk pada proses pengumpulan siswa kelas 1 oleh siswa kelas 3, dimana senior-senior tersebut akan melakukan apa yang mereka mau kepada juniornya.
Pagi itu, Aku dan teman seangkatanku, yang semua kelasnya ada di lantai 3, dikunjungi oleh beberapa senior. Mereka meminta kami untuk keluar kelas dan jongkok di depan kelas, bersebelah-sebelahan dengan teman lain. Tentu saja, kami belum saling kenal. Karena itu, senior tersebut meminta kami untuk berkenalan.
Kusalami beberapa teman di sampingku, kuberitahukan namaku dan mereka membalas dengan memberitahukan nama mereka. Tapi, seperinya tak banyak nama yang kuingat waktu itu, kecuali teman-teman sekelasku.
Setelah itu, seorang senior mendatangi kami semua.
Dari ujung sana, dia terlihat bertanya pada setiap siswa kelas satu, setelah itu menamparnya. Setelah dia sudah dekat, Aku baru tahu kalau dia menanyakan bus apa yang digunakan untuk berangkat dan pulang sekolah. Dia menyebutnya dengan kata "basis".
"Basis lo apa?" tanyanya.
Ada yang menjawab bis nomor sekian, sekian dan sekian.
Saat aku mendapat giliran, kujawab saja,"19 (bis kopaja p.19, jurusan Tanah Abang - Ragunan)". Lalu, PLAK! Ditamparnya Aku.
Di deretanku, terdapat seorang siswa baru; berbadan gemuk dan berkulit putih. Ketika sang senior bertanya padanya, ia menjawab dengan menyebutkan sebuah nomor bus. Namun senior itu bertanya lagi,"rumah lo dimana?"
"Tebet," jawab anak itu.
PLAK PLAK PLAK!
"Bo'ong lo!" teriak senior itu.
Ternyata nomor bus yang diberitahukan itu tidak menuju ke Tebet.
Aku sedikit takut dengan kejadian itu, namun tetap masih bisa tenang.
Tapi ada yang aneh dari seluruh kejadian ini, yaitu senior yang "bertugas" pagi itu. Kalau kulihat dari perawakannya:
1. Kulihat dari bawah. Dia menggunakan sepatu basket yang sepertinya berharga mahal. Jika dia rajin naik bus, sepatu seperti itu pasti sudah raib ditelan tukang palak (pemeras).
2. Dia menggunakan celana yang agak longgar. Pada jaman itu, "siswa-siswa penjahat" menggunakan celana ala 70-80an, yang kecil di pinggang namun membesar di bagian bawahnya (cutbray, istilah kerennya).
3. Agak ke atas, kulihat bajunya. Ia mengenakan baju yang kekecilan; lebih dikenal dengan baju jungkies. Saat itu, baju seperti itu adalah lambang dari kegaulan. Tak mungkin bagiku, anak gaul seperti itu sering naik bis.
4. Kulitnya. Senior itu berkulit putih. Wah, setiap hari pasti kena sinar matahari saat naik bus!
5. Rambutnya pendek sekali, hampir botak, hampir seperti gaya-gaya anak basket.
Aku mengambil kesimpulan bahwa dia adalah tipikil anak gaul zaman itu, dan bukan yang berangkat dan pulang naik bis. Lalu mengapa dia harus bertanya-tanya tentang bus apa yang kami naiki, kalau dia sendiri tak terlihat sebagai orang yang setia naik bus?
Salah satu budaya tersebut adalah "menjejer" siswa kelas 1. Menjejer itu merujuk pada proses pengumpulan siswa kelas 1 oleh siswa kelas 3, dimana senior-senior tersebut akan melakukan apa yang mereka mau kepada juniornya.
Pagi itu, Aku dan teman seangkatanku, yang semua kelasnya ada di lantai 3, dikunjungi oleh beberapa senior. Mereka meminta kami untuk keluar kelas dan jongkok di depan kelas, bersebelah-sebelahan dengan teman lain. Tentu saja, kami belum saling kenal. Karena itu, senior tersebut meminta kami untuk berkenalan.
Kusalami beberapa teman di sampingku, kuberitahukan namaku dan mereka membalas dengan memberitahukan nama mereka. Tapi, seperinya tak banyak nama yang kuingat waktu itu, kecuali teman-teman sekelasku.
Setelah itu, seorang senior mendatangi kami semua.
Dari ujung sana, dia terlihat bertanya pada setiap siswa kelas satu, setelah itu menamparnya. Setelah dia sudah dekat, Aku baru tahu kalau dia menanyakan bus apa yang digunakan untuk berangkat dan pulang sekolah. Dia menyebutnya dengan kata "basis".
"Basis lo apa?" tanyanya.
Ada yang menjawab bis nomor sekian, sekian dan sekian.
Saat aku mendapat giliran, kujawab saja,"19 (bis kopaja p.19, jurusan Tanah Abang - Ragunan)". Lalu, PLAK! Ditamparnya Aku.
Di deretanku, terdapat seorang siswa baru; berbadan gemuk dan berkulit putih. Ketika sang senior bertanya padanya, ia menjawab dengan menyebutkan sebuah nomor bus. Namun senior itu bertanya lagi,"rumah lo dimana?"
"Tebet," jawab anak itu.
PLAK PLAK PLAK!
"Bo'ong lo!" teriak senior itu.
Ternyata nomor bus yang diberitahukan itu tidak menuju ke Tebet.
Aku sedikit takut dengan kejadian itu, namun tetap masih bisa tenang.
Tapi ada yang aneh dari seluruh kejadian ini, yaitu senior yang "bertugas" pagi itu. Kalau kulihat dari perawakannya:
1. Kulihat dari bawah. Dia menggunakan sepatu basket yang sepertinya berharga mahal. Jika dia rajin naik bus, sepatu seperti itu pasti sudah raib ditelan tukang palak (pemeras).
2. Dia menggunakan celana yang agak longgar. Pada jaman itu, "siswa-siswa penjahat" menggunakan celana ala 70-80an, yang kecil di pinggang namun membesar di bagian bawahnya (cutbray, istilah kerennya).
3. Agak ke atas, kulihat bajunya. Ia mengenakan baju yang kekecilan; lebih dikenal dengan baju jungkies. Saat itu, baju seperti itu adalah lambang dari kegaulan. Tak mungkin bagiku, anak gaul seperti itu sering naik bis.
4. Kulitnya. Senior itu berkulit putih. Wah, setiap hari pasti kena sinar matahari saat naik bus!
5. Rambutnya pendek sekali, hampir botak, hampir seperti gaya-gaya anak basket.
Aku mengambil kesimpulan bahwa dia adalah tipikil anak gaul zaman itu, dan bukan yang berangkat dan pulang naik bis. Lalu mengapa dia harus bertanya-tanya tentang bus apa yang kami naiki, kalau dia sendiri tak terlihat sebagai orang yang setia naik bus?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar