written by : F.A. Triatmoko H.S
Sewaktu SMA, Aku bisa dikategorikan sebagai pelajar tanpa ekstra kurikuler, karena tak ada satupun yang kuikuti secara berkala. Ketika di awal, Aku sempat berencana ikut ekskul bahasa Jerman, dan rencana itu sempat kunyatakan. Namun, kenyataan itu tak berapa lama bertahan. Setelah datang dalam beberapa pertemuan dan berhasil tahu arti guten morgen dan guten tag, Aku akhirnya berhenti. Alasannya, karena Aku lebih ingin pulang dan cepat sampai rumah serta malas harus pulang sendiri tanpa teman basisku, karena berarti keamanan di jalan sedikit menurun.
Aku pun kembali menjadi pelajar tanpa eksul. Dan karena banyaknya temanku yang bernasib sama, kami lalu menyebut diri sebagai Bulneks, singkatan dari BULungan Non EKSkul.
Suatu ketika, predikat bulneks tersebut hampir saja lepas dari genggaman, ketika suatu hari seseorang menawarkan kesempatan padaku untuk menjadi anggota ekskulnya. Tapi karena terpengaruh nasihat dari beberapa orang dan juga nasib baik, Aku tetap memutuskan mempertahankan status.
Kisahnya begini..
Dimulai dari pemberitahuan oleh wali kelasku di kelas 1, mengenai sebuah ekskul yang katanya ilegal di 70. Ekskul itu namanya kamsis; keamanan siswa. Menurut wali kelasku itu, ekskul ini tidak diakui di 70, karena isinya adalah orang-orang yang dipersiapkan senior-senior untuk ikut tubir. Alasan itu yang membuatnya mewanti-wanti kami agar tidak ikut ekskul tersebut.
Aku pun terpengaruh. Apalagi ditambah dengan pikiran-pikiranku sendiri; bahwa Aku akan mendapat perlakuan tidak menyenangkan ketika ikut ekskul itu, dan juga akan berkurangnya waktuku untuk bisa pulang lebih cepat (kegiatan ekskul bahasa jerman saja kutinggalkan karena alasan ini, apalagi kamsis?).
Keadaan hampir saja berubah ketika suatu siang, 2 orang aud mendatangi kelasku. Aku dan beberapa teman yang (selalu) nongkrong di pojokan depan pintu kelas, menjadi sasaran pertanyaan mereka. Ternyata mereka sedang mencari salah seorang temanku.
"Si ini mana?", katanya sambil menyebutkan nama seorang temanku.
"Tak tahu. Mungkin lagi makan di kantin," jawabku.
Aku memandangi kedua aud itu, dan mengenali salah satunya. Ya, salah satu dari mereka pernah kulihat sedang berada di ruang rohkris--rohani kristen; kumpulan siswa-siswi kristen di 70. Dan, si penanya itulah yang kulihat dulu.
Mereka terlihat bingung karena yang dicari tidak ada.
"Gimana ni?"
"Ya sudah,seleksi tampang saja," kata si penanya tadi.
Dia segera menatapi kami lekat-lekat.
Setelah seksama menatapi wajah kami, dia menunjuk Aku.
"Lo! Ikut kamsis ya! Besok Jumat dateng latihan di GOR Bulungan!" katanya, agak memaksa.
Dag dig dug Aku dibuatnya. Ternyata mereka anggota kamsis!
Teringat kata wali kelasku tadi. Teringat juga prasangka-prasangkaku tentang ekskul "ilegal" itu.Teringat juga pada ibu di rumah, "Apa kata dia nanti, kalau Aku ikutan ekskul beginian?"
Dalam sepersekian detik, Aku ingat apa yang baru kuingat sebelumnya: si penanya adalah anggota rohkris juga. Ditambah lagi, setiap Jumat, pada jam yang sama dengan latihan kamsis, rohkris selalu ada kegiatan. Segera saja kujawab,
"Wah, Aku tak bisa. Tiap Jumat ikut rohkris."
Dia lalu mulai melihat-lihat teman sekelilingku. Aku pun masih was-was, kalau-kalau alasanku itu tidak memuaskannya dan tetap menjadikan Aku anggota ekskul mereka.
Mungkin karena merasa tidak menemukan pengganti dengan tampang yang layak diseleksi, dia dan temannya pun pergi meninggalkan kami. Mereka lalu berjalan menjauh menuju ke kelas lainnya. Aku pun ditinggalnya dengan hati lega. Sepertinya, alasan penolakanku tepat sekali, walaupun selama SMA, sebenarnya Aku juga jarang sekali ikut kegiatan rohkris.
Semenjak itu, tak pernah ada anak kamsis yang datang ke kelasku dan melakukan seleksi tampang lagi. Dan, kamsis pun lalu lebih dikenal sebagai sismak, mungkin untuk menyamarkan ke-ilegalannya tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar