Minggu, 22 Juli 2012

Kunjungan ke Yayasan PAZKI

written by : Arya Verdi Ramadhani

“Mas Haqi, saya sudah di daerah Depok. Dari sini ke arah mana ya?” gw bertanya melalui telepon.
“Mas, cari saja Depok Mall, nah di seberangnya ada Bank BCA. Setelah BCA ada gang kecil, Mas belok saja disitu. Nanti tinggal cari Mushalla kecil” jawab suara di ujung sana.
Percakapan tersebut terjadi antara gw dan Mas Haqi pada sabtu, 21 Juli yang lalu. Meki sempat sedikit “nyasar”, akhirnya kami bisa menemukan tempat yang dicari, yaitu Yayasan Pazki.  

Padepokan Zammi Karina Indonesia, atau biasa disingkat PAZKI, adalah sebuah lembaga yang bergerak dalam dunia pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Yayasan yang berlokasi di bilangan Depok ini, menyelenggarakan pendidikan yang  ditujukan bagi anak-anak jalanan, dhuaffah, anak yatim, dan anak terlantar. Saat ini ada kurang lebih 40 anak yang bernaung di bawah Yayasan ini. Pendidikan yang diselenggarakan bertujuan agar anak-anak tersebut menjadi berdaya dan tidak lagi tertindas oleh lingkungan yang memberikan pengaruh buruk kepada mereka. Sistem pendidikan yang dibangun di yayasan tersebut adalah Pendidikan Profesional Berbasis Kekeluargaan. Artinya, para pengurus yayasan dan guru mengutamakan penanganan anak dengan pendekatan “Cinta”. Dengan “cinta”, maka anak-anak tersebut akan merasa senantiasa aman dan nyaman, sesuatu yang mungkin selama ini tidak mereka rasakan.  

Pada Sabtu siang itu, gw (ditemani istri tercintaah..asoooi), Teboi, dan Pitut selaku panitia GREYUNION sengaja berkunjung ke Yayasan Pazki. Bagi gw pribadi, kunjungan ini sekaligus menuntaskan amanah yang lama tertunda. Ya, gw sudah lama berjanji kepada Mas Haqi – sahabat lama gw sekaligus pengurus yayasan- untuk berkunjung ke Pazki. Di samping hal itu, selain bersilaturahmi, kunjungan kali ini sekaligus menjadi ajang perkenalan antara pengurus Pazki dan panitia GREYUNION. Pada tulisan sebelumnya, gw bercerita bahwa GREYUNION sedikit berbeda dengan acara reuni lainnya karena terdapat kegiatan pre-reuni yang dapat mewadahi kegiatan saling berbagi, di antara nya kegiatan berbuka puasa bersama dan berbagi ilmu dengan anak yatim/anak jalanan. Nah, bersama Yayasan Pazki inilah kita akan mewujudkan rencana tersebut.

Kembali kepada cerita perjalanan kami menuju Pazki. Setelah sempat nyasar cukup jauh, akhirnya kami tiba di gang kecil yang disebutkan oleh Mas Haqi. Bermodalkan insting “sok tau” kami berusaha untuk menemukan sendiri mushalla yang disebutkan Mas Haqi. Walhasil, kami kembali salah jalan. Hehehe.  Jalan yang kami lewati dapat dikatakan cukup sempit, hanya muat dilewati satu mobil. Untungnya saat itu, tidak ada mobil lain dari arah berlawanan. Sehingga kami tidak perlu repot-repot memberikan jalan. Setelah melewati jalan sempit tersebut, kami diarahkan Mas Haqi untuk memarkir mobil di sebuah lapangan yang cukup besar. Di sanalah mobil-mobil yang dimiliki warga sekitar biasa diparkir.  Begitu turun dari mobil, kami disambut dengan sangat hangat oleh Mas Haqi dan istri. Kami pun kemudian diajak berjalan kaki beberapa meter lagi, melewati rumah-rumah warga, sebelum sampai di Yayasan Pazki.


Yayasan Pazki adalah sebuah rumah “setengah jadi”, alias masih dalam tahap pembangunan. Saat kami tiba disana, terlihat beberapa anak yang sedang berkumpul. Anak-anak itu – yang kesemuanya adalah lelaki -  mayoritas berkulit hitam, berambut ala anak jaman sekarang, berbaju sedikit lusuh dan tanpa menggunakan alas kaki. Sekilas mereka mewakili penampilan anak jalanan yang biasa ditemukan di pinggir jalan kota Jakarta.


Dalam hati, gw amat maklum dengan penampilan mereka, toh pada dasarnya mereka memang anak-anak jalanan. Meski berpenampilan demikian, mereka semua amat sopan dengan tamu yang berkunjung. Melihat kami datang, tanpa dikomando mereka semua menghampiri dan mencium tangan kami satu persatu sambil mengucapkan salam. Hal yang membuktikan bahwa mereka mendapatkan pendidikan mengenai sopan santun yang baik. Gw membatin, bila mereka tetap berada di jalanan, hampir mustahil mereka dapat berperilaku demikian.

Obrolan antara kami dan Mas Haqi berlangsung di sebuah saung kecil. Menurut Mas Haqi, selain digunakan untuk menyambut tamu yang berkunjung,  saung tersebut biasa digunakan bagi para guru untuk mengajar anak-anak penghuni Pazki. Seiring waktu berjalan, Mas Haqi banyak bercerita mengenai visi dan misi Pazki, tantangan dalam mendidik anak-anak, dan rencana pembangunan yang masih terus berjalan. Sebagai informasi, segala dana operasional Pazki 100% berasal dari para donator yang ikhlas berbagi sebagian rezekinya. Dalam obrolan tersebut, kami bercerita mengenai rencana kami untuk mengajak anak-anak Pazki untuk berbuka bersama anak-anak SMUN 70 angkatan 2001 dalam acara GREYUNION. Kami juga menceritakan keinginan untuk berbagi ilmu kepada anak-anak Pazki. Mas Haqi menyatakan kegembiraannya rencana kami tersebut. Menurutnya, anak-anak Pazki amat memerlukan acara-acara seperti itu untuk membuktikan bahwa masih banyak orang di luar sana yang mau berbagi dan peduli dengan mereka. Selain itu, dengan adanya kegiatan berbagi ilmu, maka anak-anak Pazki akan mendapatkan pengetahuan yang mungkin selama ini tidak mereka dapatkan dari para guru.


Setelah hampir satu jam kami berbincang, Mas Haqi mengajak kami untuk melihat bagian dalam Pazki. Saat masuk ke dalam, terlihat di tembok rumah foto-foto anak penghuni Pazki yang tertata rapi.
Di bagian pojok rumah tersebut, terdapat sebuah lemari buku, yang Mas Haqi sebut “perpustakaan kecil”. Namun, belum banyak buku yang menjadi koleksi Pazki. Disamping itu, Mas Haqi mengakui sulitnya menumbuhkan minat membaca pada anak-anak. Hm, gw membatin bahwa menyumbang buku bisa menjadi salah satu kontribusi yang dapat diberikan oleh GREYUNION.  Kemudian, kami diajak melihat bagian luar Pazki. Di bagian tersebut akan dibangun dapur dan kamar anak, karena kamar yang sekarang sudah tidak bisa menampung para penghuni Pazki yang semakin bertambah. Setelah berbincang beberapa saat lagi, kami pun mohon pamit pulang kepada Mas Haqi dan istri. Sambil berjalan menuju mobil, kami berjanji kepada untuk segera menindaklanjuti rencana buka puasa dan berbagi ilmu. Untuk buka bersama, kami rencanakan untuk diadakan pada hari MInggu 5 Agustus, sedangkan acara berbagi ilmu akan dilaksanakan pada pertengahan September. Mas Haqi dan istri pun tersenyum mendengar rencana kami tersebut dan amat menanti kehadiran kami kembali.

Di perjalanan pulang, kami saling berbagi betapa berkesannya kunjungan tersebut. Kami melihat dengan mata kepala sendiri, bahwa masih ada orang-orang yang rela bekerja tanpa mengharapkan imbalan demi pendidikan anak-anak Indonesia. Kami melihat dengan mata kepala sendiri, betapa pendidikan yang baik dapat mengubah perilaku anak. Kami melihat dengan mata kepala sendiri, betapa mulianya orang-orang yang ikhlas berbagi demi kepentingan orang lain. Kami bermimpi, bila saja semua orang rela berbagi maka tentu akan semakin banyak lahir Pazki – Pazki lain. Kami bermimpi, bila saja semua orang rela berbagi maka akan semakin banyak anak Indonesia yang berkesempatan mendapat pendidikan yang baik. Melalui GREYUNION, mari kita wujudkan bersama sedikit saja dari mimpi tersebut. Libatkan diri teman-teman dalam kegiatan berbuka bersama dan berbagi ilmu bersama anak-anak Pazki. Bila hal tersebut belum memungkinkan, maka jangan khawatir. Dengan mengikuti GREYUNION teman-teman sudah terlibat dalam kegiatan tersebut, karena uang yang teman-teman bayarkan sebagai HTM GREYUNION, sebagian akan panitia sisihkan untuk mendukung kegiatan Pre-Reuni tersebut. Jadi tunggu apa lagi? Yuk, ramaikan kegiatan tersebut. Untuk detail acaranya, ditunggu aja ya melalui situs ini atau twitter @TRBGLT.

Sabtu, 14 Juli 2012

SHARE Our Memorable Journey

written by : Arya Verdi Ramadhani

Pada tahun ini, bila tidak ada aral melintang, Trabalista & Glitter 70 akan melewati sebuah kegiatan yang amat spesial, yaitu acara reuni yang lebih dikenal dengan sebutan “GREYUNION”. GREYUNION mengedepankan tema yang sederhana namun sarat akan makna, “Share Our Memorable Journey”. Di usia Trabalista & Glitter yang terus bertambah tentu banyak sekali perubahan diri dan perjalanan hidup yang telah dilewati semenjak kita pertama kali bergabung sebagai anggota SMUN 70. Namun, karena kesibukan masing-masing, kadang sedikit sekali waktu yang tersedia untuk bertemu kembali dengan teman-teman seangkatan dulu untuk berbagi perjalanan hidup kita. Memahami hal tersebut, GREYUNION dilaksanakan dengan tujuan dapat menjadi ajang kita untuk temu kangen, silaturahmi, dan yang terpenting share atau berbagi.

Di GREYUNION nanti, kita bisa bertemu teman teman lama yang – mungkin – sudah bertahun tidak bertemu, maka di sana lah menjadi ajang kita untuk berbagi cerita dan pengalaman,  yang tidak sebatas saat kita sebagai utas sampai dengan agit, namun juga masa kuliah dulu, masa-masa pernikahan, dan juga perjalanan karir kita sampai saat ini. Lalu apa yang membedakan GREYUNION dengan acara reuni lainnya sehingga tidak hanya terhenti di seremoni temu kangen belaka? Yang membedakan adalah kata “SHARE” alias berbagi. Tidak hanya berbagi cerita pada teman saat GREYUNION berlangsung, namun juga berbagi ilmu, berbagi rezeki, dan berbagi kebahagiaan bagi orang-orang yang lebih kurang beruntung dibandingkan kita. Lho kok bisa? Ya, karena panitia telah merencanakan beberapa kegiatan Pre-Reuni yang dapat mewadahi kegiatan berbagi tersebut, di antara nya kegiatan berbuka puasa bersama dengan anak yatim/anak jalanan, donor darah, dan mengajar anak-anak kurang mampu di sebuah sekolah gratis.

Semua kegiatan tersebut tentu membutuhkan dana. Nah, uang yang teman-teman bayarkan sebagai HTM GREYUNION, sebagian akan panitia sisihkan untuk mendukung kegiatan Pre-Reuni tersebut. Pertanyaannya, sepenting apakah kegiatan berbagi tersebut? Apa manfaatnya bagi kita sebagai individu? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, izinkan gw berbagi sebuah cerita .

Pada awal tahun 2004, bersama teman-teman sesama mahasiswa, kami membuat suatu program pendidikan bagi anak-anak korban penggusuran di perkampungan nelayan Kali Adem, Jakarta. Perkampungan tersebut persis bersebelahan dengan satu komplek yang dihuni oleh masyarakat kelas atas, dan hanya dibatasi oleh sebuah tembok panjang yang telah kusam. Tembok itu seakan-akan menjadi saksi bisu besarnya jurang pemisah antara masyarakat mapan dan masyarakat miskin di Jakarta. Beberapa diantara tembok tersebut sengaja dibolongin oleh anak-anak Kaliadem agar mereka dapat bermain dan bercanda tawa di taman bermain komplek tersebut- hal yang amat mewah bagi mereka.  Mereka bermain disana dengan resiko sewaktu-waktu diusir oleh satpam. Kadang gw tidak bisa menahan senyum saat mereka “berkejar-kejaran” dengan satpam tersebut.

Untuk anak-anak itu, kami sengaja membuat kurikulum pendidikan yang berbasiskan pembangunan karakter dengan metode pengajaran yang penuh aktivitas gerak, bernyanyi, dan permainan agar mereka tidak mudah bosan. Meski memiliki kesibukan masing-masing, namun kami selalu berusaha untuk datang secara rutin setiap akhir pekan. Sungguh tidak ada satu pun diantara kami yang pernah mengeluh meski harus merelakan waktu istirahat di akhir pekan, menempuh perjalanan yang cukup jauh, dan tanpa mendapatkan imbalan apapun. Segala kelelahan dan perjuangan habis terkikis dengan senyuman dan canda tawa dari anak-anak Kali Adem. Kami semua melakukannya dengan sukarela dengan semangat ikhlas untuk berbagi ilmu.

Sungguh, gw sangat menikmati kegiatan tersebut. Bagaimana tidak? Di saat banyak orang berpikir bahwa meraih kebahagiaan itu sulit dan mahal, gw mendapatkannya dengan mudah dan tanpa biaya. Tambahan pula, kebahagiaan tersebut tidak hanya dirasakan sendiri, namun juga dirasakan puluhan anak-anak kurang beruntung yang selalu menyambut kami dengan pelukan dan senyuman setiap kali melihat kami tiba di tempat mereka. Bagi anak-anak tersebut, kedatangan kami adalah kebahagiaan dan hiburan tersendiri di tengah kesulitan hidup yang mendera mereka. Sungguh membuat bahagia!

Beberapa orang sempat menanyakan “untuk apa sih melakukan semua itu? Kan gak dapat bayaran apapun”. Hm, entah yah, tapi sejak melakukan kegiatan semacam itu gw semakin menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih berharga daripada imbalan materi belaka. Penasaran dengan hal tersebut, gw mencoba membongkar literatur-literatur psikologi. Setelah membaca beberapa tulisan dan artikel, gw mendapatkan bukti bahwa kegiatan berbagi yang dilakukan secara sukarela memang memiliki pengaruh terhadap kondisi psikologis seseorang. Sebuah penelitian membuktikan bahwa kegiatan berbagi dapat menurunkan perasaan stres, meningkatkan kepuasan hidup yang lebih tinggi, perasaan yang lebih kuat dalam menghargai diri sendiri, dan depresi/kecemasan yang lebih sedikit. Intinya, salah satu hal penting yang terungkap melalui penelitian tersebut adalah bahwa berbagi kepada orang lain ternyata secara signifikan mempengaruhi peningkatan kebahagiaan kita.

Segala kegiatan, selama positif, tentu ada manfaat bagi orang yang melakukannya. Nah, begitu pula bila melakukan kegiatan berbagi secara sukarela. Kira-kira berikut rangkuman manfaat yang didapatkan :
  1. Meningkatkan kepedulian kita kepada suatu hal atau orang lain
  2. Menunjukkan suatu tanda kedewasaan, yaitu dapat berpikir hal-hal lain selain kebutuhan atau keinginan sendiri.
  3. Meningkatkan kebahagiaan diri sendiri melalui memberikan bantuan untuk orang lain.

Mudah-mudahan gw berhasil membuat teman-teman menjadi lebih tertarik untuk melakukan kegiatan berbagi – yang tentu dilakukan dengan sukarela. Semakin banyak orang yang saling membantu sesama, tentu akan semakin banyak energi positif yang menyebar diantara kita.  Angkatan kita telah membuktikan bahwa keinginan untuk berbagi telah tertanam kuat di diri dengan terkumpulnya – secara cepat – sejumlah uang untuk membantu Pak Amir, guru olahraga kita saat kelas satu dulu, yang sedang terbaring di ICCU RSCM karena serangan jantung. Salut buat teman-teman semua. Jadi tunggu apa lagi? Yuk, ramaikan kegiatan Pre-Reuni tersebut. Untuk detail acaranya, ditunggu aja ya melalui situs ini atau twitter @TRBGLT.





Sabtu, 07 Juli 2012

GREYUNION - share our memorable journey

written by : Arya Verdi Ramadhani





Nostalgia SMA kita
Indah lucu banyak cerita
Masa-masa remaja ceria
Masa paling indah
Nostalgia SMA kita
Takkan hilang begitu saja
Walau kini kita berdua
Menyusuri cinta

 

Tentu masih pada inget dengan penggalan teks lagu “Nostalgia SMA Kita” di atas kan? Kalau enggak inget, berarti penulis yang terlalu jadoel nih, hehehe. Buat membantu mengingat, lagu ini dipopulerkan oleh Paramitha Rusady. Lagu tersebut mengingatkan kita semua pada sebuah ungkapan lama, yakni ”masa SMA adalah masa-masa paling indah”. Masa dimana seseorang mengalami banyak pengalaman baru, masa remaja, belajar untuk memegang tanggung jawab, dan tentu saja, masa yang penuh cinta. Dalam kasus ini, kita mengalami semua itu pada masa yang sama dan juga pada SMA yang sama. Ya, masa di tahun 1998 - 2001 di SMA 70 Bulungan tercinta. Tampaknya bintang di langit pun tidak bisa mengalahkan jumlah cerita kenangan selama kita bersekolah di sana (aiih sedaaap). Mulai dari cerita kucing-kucingan sama agit selama utas, cerita kegiatan di eskul, cerita-cerita tubir, cerita ultah sweet seventeen, cerita jalan-jalan ke bali, cerita jadi penguasa pas agit, sampai cerita-cerita cinta (yang mayoritas berakhir tragis). Semua itu, gw yakin, tersimpan rapi di ruangan spesial dan khusus di memori otak kita. Yang tak akan lekang oleh waktu (latar belakang lagu kerispatih). 

Sampai saat ini, gw masih amat bangga bila ditanya "dulu SMA dimana?"// "Oh, di 70, tau kan?!" //"Iya, tau lah, 70 gitu". Kata temen gw, 70 itu unik. Anak-anak nya berandalan, berantakan, gak karuan, tapi otaknya encer-encer semua. Kata guru-guru, 70 itu aneh. Anak unggulan, tapi doyan tubir. Tapi kata gw, 70 itu buku, cinta, dan pesta. Kita belajar, kita bercinta, dan kita berkawan di sana. Bisa dikatakan - bila tidak berlebihan- keberhasilan perjalanan hidup kita sekarang, sedikit banyak disebabkan masa-masa saat kita bersekolah di SMA 70 dulu.

Saat ini masing-masing dari kita sudah memiliki kehidupan sendiri. Membangun karir dan  membentuk keluarga sakinah mawadah warahmah dengan anak, suami, dan istri yang dicintai (aiih sedaaap). Namun, setiap kita, pasti pernah - meskipun hanya sedetik -teringat masa-masa SMA dulu. Memori tersebut sampai membuat kita tertawa sendiri, tersenyum sendiri, atau mungkin bahkan sampai - tanpa disadari - meneteskan air mata (agak berlebihan sih). Loe ga sendiri kok. Siapapun yang memiliki cerita masa SMA yang sedemikian dahsyatnya, tentu akan merasakan hal yang sama. So, mengapa kita tidak "mengulang" kembali masa-masa itu?

GREYUNION lahir dari pemikiran di atas. Sebuah wadah temu kangen dan silaturahmi bagi angkatan abu-abu (GREY) Trabalista dan Glitter 70 untuk kembali "bersatu" (UNION) yang - Insyaallah - akan dilaksanakan pada hari Sabtu, 20 Oktober 2012, 13.00 - 16.00 WIB, di Bellarosa - Jeruk Purut. Mengangkat tema "Share Our Memorable Journey", GREYUNION memiliki ide utama untuk setiap kita saling berbagi cerita, kenangan, dan cinta selama melewati masa remaja di SMA 70. Saat GREYUNION, kita akan bertemu lagi dengan sahabat lama, teman sekelas dulu, teman satu eskul, beberapa bapak/ibu penjual di kantin, mantan pacar, dan bahkan mantan kasih tak sampai. Di GREYUNION pun kita bisa membuktikan bahwa keajaiban itu ada. Yang dulu dihina-hina berwajah buruk rupa, sekarang ternyata memiliki pasangan hidup yang tampan/ cantik rupawan. Yang dulu memiliki bentuk badan tidak karuan, sekarang berbodi bak model mancanegara. Yang dulu bukan siapa-siapa, sekarang sukses dengan karirnya. Ajaib bukan?


Lalu apakah itu saja? Tentu tidak! GREYUNION berusaha membuat perbedaan dari acara reuni lainnya. Dengan berlandaskan kata "Share" pada tagline, pihak panitia berusaha mewujudkan kegiatan pre-reunion berupa charity. HTM yang dibayarkan, selain digunakan untuk membayar operasional acara, sebagian akan disisihkan untuk kegiatan charity tersebut, yaitu antara lain acara buka puasa bersama dengan anak yatim/ anak jalanan (pertengahan agustus), kegiatan mengajar di sekolah gratis untuk anak jalanan (pertengahan september), dan donor darah. Apakah acara itu akan benar-berjalan? Panitia akan berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkannya, namun tidak akan optimal tanpa adanya dukungan dari Trabalista dan Glitter 70. Semua kita amat sangat bisa terlibat dalam acara-acara tersebut. Detail kegiatan akan disusulkan kemudian ya :)

Jadi, membaca pemaparan di atas, kayanya gak ada alasan untuk gak dateng ke GREYUNION ya? Bila hadir disana, lo semua juga akan mendapatkan gratis foto dengan latar belakang yang ciamik, langsung di cetak dan di bawa pulang hari itu juga.. WOW!, akan mendapatkan satu DVD berisi foto-foto kenangan selama di SMA 70 yang dikumpulkan dari berbaga sumber dan film "PICIDI GUE" Jilid II..WOW!!..serta temu kangen sekaligus menikmati acara spesial yang telah dipersiapkan khusus untuk anda..WOW!!!.

So, yuk yuk, setelah baca blogs ini, langsung ke ATM, dan transfer HTM sesegera mungkin ya!!
See u all there, dan bersiaplah untuk berbagi "Your Memorable Journey!"

GREYUNION - TRB & GLT 70 REUNION

Cerbung - Sepanjang Jalan Bulungan

written by : F.A. Triatmoko H. S.

Aku senang menceritakan pengalaman pribadi; harapannya, siapa tahu bisa menginspirasi orang yang membaca. Proyek pertama yaitu kumpulan kisah keseharianku selama bersekolah di sebuah SMA negeri di kawasan Bulungan. Yup, aku adalah alumnus SMA 70. Angkatanku dikenal dengan Trabalista dan Glitter, masuk pada 1998 dan lulus pada 2001.

Kisah-kisah tersebut sebenarnya sudah tertulis menjadi satu dalam sebuah halaman di Facebook, dengan judul “Sepanjang Jalan Bulungan“. Namun tak ada salahnya aku memberikan cerita-cerita itu di blogs ini. Selamat menikmat ya : )

Cerbung - Awal Mulanya Masuk 70

written by : F.A. Triatmoko H.S.


Akhir-akhir ini Aku melihat berita-berita miring tentang almamaterku, SMA 70. Mulai dari pemalakan oleh anak kelas 3 terhadap kelas 1, tawuran, hingga kekerasan anak kelas 3 kepada kelas 1. Karena santernya berita itu, entah karena apa, Aku jadi kangen dengan masa-masa itu. Kenangan-kenangan waktu itu, mulai liar bermunculan di kepalaku. Kini, kucoba saja mengeluarkan kisah-kisah itu lagi..

--

Bulan-bulan terakhir SMP. Sebentar lagi akan ada EBTANas (Evaluas Belajar Tahap Akhir Nasional). Saat inilah Aku harus menentukan SMA tujuanku nanti.

Beberapa pilihan masuk dalam daftar-pilihku: SMA 8, 70, 28, 38 dan 55. Namun, diantara 5 pilihan, hanya beberapa yang masuk hitungan: SMA 8, 70, 28 dan 38. Dari empat itu, aku diharuskan untuk memilih 3. Pilihan pun tak terlalu sulit. SMA 8 pun akhirnya kuhilangkan dari daftar. Alasannya sederhana: Aku ingin bersekolah di SMA unggulan, namun yang aktivitasnya tak hanya belajar (waktu itu, imej SMA 8 bagiku adalah sekolah belajar terus). Ditambah lagi, 8 terasa sangat jauh bagiku; daerah Bukit Duri yang ku tak tahu dimana itu. Akhirnya, lewat lah sekolah itu.

Lalu, antara SMA 70 dan 28. Keduanya adalah sekolah bagus. Namun, 70 tak punya kelebihan yang dimiliki 28, yaitu letaknya yang tidak terlalu jauh dari rumahku. Tapi ternyata hal itu tidak berpengaruh terhadap pemilihanku. Aku lebih tertarik dengan reputasi SMA 70 sebagai SMA tukang berkelahi. Akhirnya, terdorong darah muda yang mengaliri nadiku saat itu, SMA 70 pun mejadi pilihan pertamaku.

--

Setelah EBTANas, Aku tinggal menunggu pengumuman penerimaan SMA. Tapi, saat itu Aku cukup yakin bisa masuk 70. Penyebabnya adalah permainan kartu remi. Kok bisa?

Tahun itu adalah 1998, bertepatan dengan piala dunia 1998 dimana Perancis menjadi tuan rumah sekaligus juaranya. Sama seperti pria-pria kebanyakan, Aku pun ikutan begadang untuk nonton bola.Di sela-sela menanti siarang langsungnya, Aku dan beberapa saudaraku bermain kartu remi. Permainan itu pun dihitung; menang kalahnya, sehingga pemenang akan dilihat dari pemain dengan angka terbesar.

Nah, beberapa kali aku mendapatkan nilai 70 ketika bermain. Walaupun alasan tersebut sangat dangkal, namun Aku cukup percaya bahwa angka itu akan membawaku ke SMA pilihanku.

Dan ternyata benar. Ketika pengumuman penerimaan SMA, Aku dan beberapa temanku diterima di 70. lalu terbayanglah bersekolah di sekolah elit di kawasan Bulungan, dengan reputasi tukang berkelahi.

Cerbung - Hari Pertama Bersekolah

written by : F.A. Triatmoko H.S.


Ah, akhirnya masuk ke SMA 70, pilihan pertamaku!
--

Hari ini adalah hari pertamaku bersekolah di SMA. Kalau tidak salah, selama 3 hari pertama akan ada MOS, atau masa orientasi siswa. MOS itu sendiri Aku lupa isinya apa. Yang berhasil kuingat hanyalah: dikumpulkan di lapangan basket (yang letaknya di lapangan sebelah atas), lalu ada demonstrasi setiap ekstra kurikuler yang ada di 70.

Setelah kegiatan selesai (kalau tidak salah, tidak sampai seharian penuh, dan sudah bisa pulang jam 10/11), aku dan Evren, tman SMPku yang juga masuk 70, segera bergerak pulang. Evren tinggal di daerah Mampang, sedangkan Aku di Ciganjur. Karena searah, walaupun akan naik bus yang berbeda, kami jalan bareng menuju terminal blok m.

Terminal itu tak jauh dari sekolahku, tinggal jalan 200 meter ke arah SMA 6, lalu belok kiri, menyeberang jembatan, lalu sampai di jalur terminal. Rencananya Aku akan naik kopaja 616, dan Evren akan naik metromini 75.

Sebelum kami tiba di terminal, tentunya kami harus berjalan dulu ke sana. Ketika baru berjalan beberapa puluh meter dari sekolah, kami melewati gelanggang olahraga Bulungan. Di depan pintu gerbang GOR itu kami mendapati pengalaman pertama menjadi "warga" 70. Saat melintas di pintu, seseorang berteriak memanggil kami.
"Anak mana lu?"
Kami berdua merasa takut, namun tak bisa mengelak. Ternyata dia adalah senior kelas 3 di 70. Aku baru tahu itu setelah beberapa minggu bersekolah. Tadinya kupikir dia adalah siswa sekolah lain yang mau mau mencari masalah dengan 70.
"Anak 70", jawabku.
"Mau kemana lo?"
"Pulang"
"Kemana?"
"Terminal"

Setelah tahu tujuan kami, dia melepaskan kami sambil berpetuah,"ati-ati lo ya!"
Kamii pun melanjutkan langkah menuju terminal.

Di sela perjalanan pulang, ku berpikir sejenak, "wah, hari depanku di SMA ini sepertinya akan penuh dengan lika-liku nih", sambil duduk di bangku kopaja yang sedang melewati sebuah sekolah berlabel STM Penerbangan.

Cerbung - Salah Pilih Korban

written by : F.A. Triatmoko H.S

Preman. Kata itu yang muncul pertama kali saat Aku mengingat-ingat lokasi sekolahku, yang ada di kawasan Bulungan, sekitar-sekitar Blok-M. Dalam benakku, Aku akan bertemu dengan pria-pria gahar, berkulit kelam, berbadan kekar, bertato dan sering melakukan tindak pemerasan. Ibuku pun juga sudah mengingatkan akan kerasnya Blok-M. Kalau ibukota lebih kejam dari ibu tiri, Blok-M ini lebih kejam dari ibukota, begitu ibaratnya. Dan benar, hari itu Aku bertemu dengan salah satu preman penunggu Blok-M!

Pertemuan itu terjadi di suatu siang, saat Aku dan seorang teman sedang naik bis menuju rumah. Seperti biasa, Aku dan temanku itu naik kopaja 614, jurusan Cipulir-Ps. Minggu. Aku dan temanku duduk di kursi paling belakang. Padahal di area lain, masih banyak kursi tak diduduki. Maklum, masih songong-songongnya jadi anak SMA. Selepas 20-an meter dari halte Bulungan, tempat kami naik bus, lampu merah menghadang laju perjalanan pulang kami.

Sseorang pria lalu menaiki bus yang kami tumpangi dan segera duduk di sebelah kiriku. Dengan suara pelan namun kasar dia berkata,"sini duit lu!"

Aku kaget! Jantungku mulai berdebar-debar.
"Gak ada bang."
"Bo'ong lo!"
"Bener bang.."

Kulihat tatapan mata si preman, penuh keseraman. Badannya ternyata tak segarang yang kuduga sebelumnya. Ia berubuh standar; tidak besar atau kecil. Yang membedakan ia dengan kami hanyalah kenekatannya.

Teman yang di sebelah kiriku sudah dari tadi membuang muka dari arah TKP. Pemalak yang melihat tingkahnya, tak tinggal diam.
"Heh, lo! Minta duit lo!"
Temanku masih mencoba melengos. Preman itu pun melayangkan tangannya ke kaki temanku. Dengan terpaksa, temanku pun mulai menengok.
"Gak ada bang, tinggal buat ongkos," sambil mengeluarkan uang 2000 rupiah.
"Bo'ong lo semua!!"

Ia lalu menarik tas temanku dan mulai membuka setiap bagian yang bisa dibuka. Sepertinya ia lebih tertarik dengan tas itu karena lebih besar dari tasku. Mungkin diasumsikan, tas yang lebih besar pastinya lebih mahal, sehingga pemiliknya pasti lebih punya uang.

Satu-per satu ruang dalam tas digeledahnya. Buku-buku di dalamnya pun mulai diacak-acak. tak menemukan di ruang utama, ia pindah ke ruang yang lebih kecil. Dan dugaanya benar. Di ruang yang lebih kecil itu, ia menemukan uang temanku. Jumlahnya beberapa puluh ribu rupiah. Temanku hendak mempergunakan uang itu untuk membayar buku pelajaran. Tapi apa daya, kini sudah berpindah tangan ke tukang palak, bukan ke pihak sekolah.

Setelah puas dengan hasil rampasannya, ia kembali padaku. Kantung kemejaku dirogohnya. Uang beberapa ribu rupiah ditemukan dan digenggamnya.
"Jangan bang, itu buat ongkso pulang," Aku mengiba.
Mungkin karena tak tega, beberapa ribu uang itu dikembalikannya lagi ke dalam kantungku.

Kemudian, tasku jadi korban berikutnya. Dan jelas sekali ia semakin tidak puas. Tasku hanyalah seoonggok kain berukuran sedikit lebih besar dari kertas A4 dan tebalnya kira-kira hanya setebal buku 200 halaman. Warnanya hitam, sudah lusuh dan tak tertutup. Bentuknya seperti sebuah kotak pipih, dengan satu sisi kotak tidak terjahit dan ada gantungan untuk pundak. Dan terdapat sebuah logo bulat besar bertuliskan Generasi Biru Slank.

Setelah mengobok-obok, bisa kupastikan ia hanya akan bisa mengambil sebuah buku tulis dan beberapa pensil. Barang yang tentunya tak menguntungkannya.

"Dompet lo mana?!" belum puas rasa penasaran sang preman.
"Gak punya dompet bang."

Sekali lagi ia tak percaya. Dirogohnya kantung celananku. Sempat khawatir juga, kalau si preman memang suka merogoh-rogoh kantung pemuda SMA. Dan sekali lagi, ia harus menelan rasa kecewanya, karena Aku tak pernah membawa dompet. Bahkan Aku tak punya sebuahpun dompet!

Masih belum puas, ia mulai melirik ke arah bawah; sepatuku. Hasilnya, ia hanya melihat sebuah sepatu dengan merek sama sekali tak terkenal, seharga beberapa puluh ribu saja, tidak mencilak atau mentereng dan tak akan laku banyak jika dijual di pasar Taman Puring (disinyalir, pasar inilah tempat para pemalak-pemalak menjual barang palakannya). Sementara kulihat si pemalak, sepatunya terbuat dari kulit. Pastinya lebih mahal dari sepatuku.

Setelah ini, sang preman menyerah sudah. Mungkin uang buku milik temanku sudah cukup baginya; entah cukup untuk makan seminggu atau untuk mabuk-mabukan malam ini. Ia pun segera berdiri dari posisinya, lalu turun dari bus yang masih berhenti di lampu merah, seraya berkata, "Makasih ya!"

Sialan, kupikir. Habis dihisap madunya, masih sempat meledek dengan bilang terima kasih! Apalagi, temanku kehilangan uang untuk membayar buku pelajaran. Aku sih tak terlalu pusing, karena tak terlalu rugi banyak. Namun bagi temanku, kejadian ini sudah cukup untuk membuatnya tidak mau duduk di bus deretan paling belakang.

Cerbung - Abu-Abu Atau Kelabu?

written by : F.A. Triatmoko H.S

Setelah menunggu lama, akhirnya angkatanku memiliki jaket sendiri; sebuah jaket bertuliskan nama angkatan Trabalista 70.

Beberapa bulan sebelumnya, sebuah wacana didengungkan: angkatan kami akan membuat jaket angkatan, mengikuti tradisi dari angkatan-angkatan sebelumnya. Zapatista, agitku berjaket cokelat. Somoza, audku berjaket merah marun. Garnizoon, angkatan yang baru saja menjadi alumni, memiliki jaket biru. Platoon, angkatan sebelumnya, berjaket hijau tentara.

Oleh karena itu, seorang bendahara dipilih untuk mengurusi keuangan pembuatan jaket . Seorang anak dari tiap kelas ditugasi peran bendahara. Dia yang nantinya akan mencatat siapa saja yang telah dan belum membayar serta menjadi debt collector yang kejam terhadap setiap pengutang.

Jaket yang sedang dalam proses (karena Aku tak tahu menahu masalah pemilihan warna jaket dan tulisan, model jaket, logo angkatan, dsb) konon dihargai sebesar Rp.60.000. Kala itu, uang sebesar RP.60.00 adalah jumlah yang sangat besar buatku. Bayangkan saja, ongkosku kala itu hanya Rp.6000 rupiah/hari (7000 jika ada pelajaran olahraga). Dua ribu rupiah untuk biaya numpang angkot dan bis pulang pergi, 2000 rupiah untuk makan di kantin, 500 untuk beli minum, dan sisanya untuk jaga-jaga atau ditabung. Karena minimnya dana yang kumiliki, Aku harus meminta uang dari ibu, dan harus nyicil membayar jaket angkatan.

Beberapa bulan berlalu, jaket pun jadi jua. Aku tahu dari seorang kawan sekelas, bahwa jaket angkatan gelombang pertama sudah selesai dibuat. Semua jadi tak sabar dibuatnya; tak sabar ingin segera memiliki, memakai dan merasakan kebanggan menjadi sebuah angkatan di SMA 70.

Ketika istirahat, Aku dan beberapa teman sekelas bergegas ke kelas, dimana jaket angkatanku dibagikan. Distribusi jaket hari itu dipusatkan di kelas 1 G, karena pihak pembuatnya berkelas di situ. Di dalam kelas, puluhan anak-anak satu angkatanku sudah berkumpul. Banyak diantara mereka yang baru kali itu kulihat mukanya. Mungkin mereka berada di kelas ujung sana, ibarat dari Sabang sampai Merauke dari kelasku.

Lalu, di sela-sela wajah-wajah tak kukenal, kulihat barang yang sudah diidam-idamkan: jaket angkatan kami. Warnanya abu-abu. Itulah warna yang akan jadi penanda angkatan Trabalista, hingga nanti angkatan kami terlupakan. Di punggung agak ke tengah, terdapat tulisan berwarna merah dengan outline hitam: TRABALISTA 70; dengan kuruf kapital semua, dan bagian bawahnya melengkung hingga hampir menyerupai huruf U terbalik.

Lalu, jaket itu pun segera diambil seorang anak yang sudah beberapa kali kulihat. Badannya besar, kulitnya hitam, dengan muka sedikit bercambang, siapapun pasti takut dengannya. Jaket itu lalu segera dibukanya, siap untuk dikenakan. Karena jaket itu bukan jaket sembarangan; membawa nama angkatan kami, sehingga harus dijaga dengan segenap jiwa dan raga, maka pemakainya pun harus siap jika harus bertahan dari serangan siapapun yang hendak merebutnya. Karena itu, setiap anak yang hendak mencobanya, wajib merasakan serangan lebih dulu. Tapi, serangannya berasal dari kami, teman seangkatan, dan bukan serangan sungguhan.

Perlahan-lahan, teman besarku itu mulai menyiapkan diri. Tangan kanannya sedikit demi sedikit mulai diselipkan ke lengan jaket. Lengan kirinya menyusul. Begitu jaket tepat terpasang, puluhan anak laki-laki angkatanku berhamburan menyerbu si pria besar berjaket abu-abu itu. Dorongan dari berbagai segi mulai dirasakan si pria besar. Pukulan, mulai dari tamparan telapak tangan hingga tinju kepalan tangan, juga mulai mendarati badannya. Beberapa tendangan pun bersarang juga. Tangan-tangan lain mulai menariki jaket abu-abu baru itu, serasa seorang penjambret sedang menarik kalung ibu-ibu. Debu-debu mulai beterbangan, memenuhi seisi kelas. Suara-suara teriakan tanda kesenangan, mulai terdengar di sana sini.

Aku pun tak mau ketinggalan. Karena kumpulan pemukul dan penendang sudah penuh, Aku segera mencari peran lain. Kulihat sebuah meja sedang nganggur di dekat pria korban penyerangan itu. Kunaiki saja, dan setelah siap, ku melompat ke arah pria malang itu. BOOOM! Telapak sepatuku mendarat dengan mulus di punggungnya, dan meninggalkan bekas; jiplakan sol sepatu di bajunya.

Tak mau aksiku diketahui korban, segera Aku keluar dari arena penyerangan dan meninggalkan si pria besar dalam keadaan sebal karena terinjak, sekaligus bangga karena telah lulus ujian penggunaan jaket. Penonton dan penyerang pun segera bertepuk tangan, menyemangati si pria besar.

Keriangan itu pun segera terganggu oleh bel masuk yang sudah berbunyi. Lokasi penyerangan pun mulai tertib kembali, seperti kelas sedia kala. Aku dan teman-teman kembali ke kelas pojok. Rasa senang dan antusias menyambut jaket abu-abu itu, membuatku semakin tak sabar untuk segera menggenggam dan memakainya. Tapi satu pertanyaan terngiang di kepalaku,"salam kami akan salam abu-abu atau salam kelabu ya?"

Cerbung - GK Coklat

written by : F.A. Triatmoko H.S

jalan Bulungan, dahulu kala terdapat dua buah sekolah yang letaknya bersampingan, SMA 9 dan SMA 11. Konon, kedua sekolah tersebut tak henti-hentinya berkelahi, layaknya anjing dan kucing yang selalu bermusuhan. Karena rutinitas berkelahi yang sudah menjadi-jadi, hingga memakan korban dan membuat sekolah seringkali diliburkan, akhirnya berdasarkan keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu, Prof. Dr. Daoed Joesoef, kedua sekolah tetangga itu pun dilebur. Tanggal 5 Oktober 1981, bertepatan dengan hari ABRI, lahirlah sebuah SMA baru; SMA 70.

Berkat penggabungan tersebut, SMA 70 memiliki: 91 kelas, siswa sebanyak 4806 orang, guru sebanyak 183 orang, karyawan berjumlah 75 orang, dan 11 orang Wakil Kepala Sekolah. Jika dilihat dari jumlah muridnya, yang katanya terbesar kedua di dunia, wajar saja jaman dulu 70 ditakuti oleh sekolah-sekolah di sekitarnya.

Tanggal peleburan tadi, hingga kini dirayakan sebagai ulang tahun SMA 70. Dan, sama seperti ulang tahun pada umumnya, ada acara-acara yang biasanya dilakukan untuk memperingatinya. Selain upacara, entah sejak kapan, selalu diadakan acara yang diberi nama Gelar Kreatifitas, atau biasa dikenal sebagai GK. dan hari ini, 5 Oktober 1998, adalah GK pertamaku.

Dalam GK, biasanya ada beberapa acara seperti bazar dan pentas seni; tari, musik dsb. Acara yang paling kuingat tentunya adalah acara di areal panggung; tari-tarian dan musik.

Untuk tari-tarian, ada 1 acara yang pastinya ditunggu-tunggu hampir seluruh siswa 70, yaitu cheerleader dan tarian modern. Di sekolahku ini ada sebuah ekstra kurikuler yang bergerak di kedua bidang tarian tersebut, yaitu Persada Karya Cipta atau PKC. Di setiap angkatan, anggota-anggota PKC ini terkenal berisikan gadis-gadis cantik nan seksi. Lumrah saja, penampilan mereka selalu dinanti oleh jejaka-jejaka 70.

Hari itu, Aku dan banyak lainnya, segera berhamburan mengerumuni areal depan panggung utama, begitu terdengar lagu berirama dance. Itu tandanya, tarian dari gadis-gadis PKC akan segera terhidangkan. Ibarat hewan yang lama tidak diberi makan, kami mendatangi lokasi pertunjukkan dengan liur dan rasa lapar yang tak tertahankan. Deret paling beruntung, yang ada di baris depan penonton, duduk di lantai lapangan basket yang difungsikan sebagai kawasan panggung utama. Yang tidak beruntung mendapat spot bagus untuk menonton, harus bersusah payah demi memuaskan hasrat menontonnya. Ada yang menonton dengan menaiki panggung, ada yang yang mencoba menyempil sambil sesekali meloncat agar pandangannya jelas, dan bahkan ada yang menonton dari bawah panggung!

Pertunjukkan pun dimulai. Setiap pasang mata, berusaha untuk tidak terkedip. Kedip sekali saja, rasanya sudah kehilangan 5 menit pertunjukkan, yang kurang lebih hanya berlangsung selama 15 menit. Bagi kami, para pria remaja yang baru memasuki masa puber, kemolekan tubuh pedansa PKC menjadi tujuan utama. Tak peduli, apakah gerakannya sesuai dengan musik, atau ada yang melakukan gerakan yang salah. Yang penting, mata terpuaskan.

Selain itu, acara panggung musik pasti akan menarik diriku. Maklum, salah satu alasan tambahan masuk ke 70 adalah karena sekolah ini sekolahnya artis-artis. Siapa tahu dengan Aku bersekolah disini, suatu saat akan bisa ketularan menjadi pemain band yang nongol di televisi. Tapi, sayang sekali GK pertama ini Aku belum bisa manggung disitu. Kala itu, AKu belum punya band dan juga belum punya siapa-siapa untuk diajak bermusik.

Satu persatu, panggung pun terisi berbagai penampilan band-band lokal 70. Penonton pun sepertinya terpuaskan dengan aksi penampil-penampilnya. Beberapa agit yang tampil di panggung beberapa kali berteriak-teriak, "SALAM COKLAT!". Terang saja Aku bingung. "Apa maksudnya?"

Bodohnya Aku! Ketika kulihat jaket angkatan agit, baru kutahu maksudnya. Jaket mereka berwarna coklat, jadi salam coklat ini pasti salam penanda angkatan mereka. Aud, karena jaketnya berwarna merah marun, pasti juga akan menyebutkan salam marun jika ada kesempatan.

Namun, di tengah suasana keramaian panggung, Aku merasakan hawa-hawa negatif yang berkembang di sekitar kawasan depan panggung.

Di kawasan itu, hanya ada kumpulan agit. Sedangkan, aud hanya berada di tepian mereka. Hawa negatif semakin nyata ketika ada sebuah band aud yang tampil. Gerombolan agit yang berada di depan panggung berespon dengan biasa saja, bahkan cenderung mengitimidasi. Agit yang sebelumnya berjoget mengikuti alunan musik, segera berdiri anteng-anteng saja. Beberapa dari mereka mendekati bibir panggung, lalu menatapi personil-personil band tersebut. Seseorang diantaranya, membisikkan sesuatu pada seorang personil band, mungkin meminta mereka agar tidak banyak tingkah. Siapa juga yang berani melawan kakak kelas bertampang ganas-ganas? Akibatnya, jarang sekali salam marun, yang menjadi identitas aud, berkumandang di panggung.

Ditambah lagi, satu ketika, agit mengajak kami turun ke depan panggung dan ikut berjoget bersama, sedangkan aud ditinggalkan sendirian di tepian arena. Ibaratnya, menganakemaskan kami, utas, dan menganaktirikan aud. Dan lebih jauh lagi, mulai menabur benih-benih permusuhan antara angkatan kami dan angkatan aud.

Dalam GK ini, Aku tak bisa bertahan menonton hingga acara berakhir, di ujung sore. Jarak yang jauh antara rumah dan sekolah, mengharuskanku untuk pulang lebih cepat. Tapi, gambaran tentang acara ulang tahun 70, sudah mulai terbentuk di kepalaku, mulai dari upacara, dance gadis-gadis rupawan, hingga perseteruan terselubung di areal panggung.

Kita lihat saja GK tahun depan, apakah masih akan serupa dengan tahun 1998 ini, atau akan muncul kejadian yang lebih berkesan lagi.

Cerbung - Diselamatkan Hari Jumat

written by : F.A. Triatmoko H.S

Sewaktu SMA, Aku bisa dikategorikan sebagai pelajar tanpa ekstra kurikuler, karena tak ada satupun yang kuikuti secara berkala. Ketika di awal, Aku sempat berencana ikut ekskul bahasa Jerman, dan rencana itu sempat kunyatakan. Namun, kenyataan itu tak berapa lama bertahan. Setelah datang dalam beberapa pertemuan dan berhasil tahu arti guten morgen dan guten tag, Aku akhirnya berhenti. Alasannya, karena Aku lebih ingin pulang dan cepat sampai rumah serta malas harus pulang sendiri tanpa teman basisku, karena berarti keamanan di jalan sedikit menurun.

Aku pun kembali menjadi pelajar tanpa eksul. Dan karena banyaknya temanku yang bernasib sama, kami lalu menyebut diri sebagai Bulneks, singkatan dari BULungan Non EKSkul.

Suatu ketika, predikat bulneks tersebut hampir saja lepas dari genggaman, ketika suatu hari seseorang menawarkan kesempatan padaku untuk menjadi anggota ekskulnya. Tapi karena terpengaruh nasihat dari beberapa orang dan juga nasib baik, Aku tetap memutuskan mempertahankan status.

Kisahnya begini..

Dimulai dari pemberitahuan oleh wali kelasku di kelas 1, mengenai sebuah ekskul yang katanya ilegal di 70. Ekskul itu namanya kamsis; keamanan siswa. Menurut wali kelasku itu, ekskul ini tidak diakui di 70, karena isinya adalah orang-orang yang dipersiapkan senior-senior untuk ikut tubir. Alasan itu yang membuatnya mewanti-wanti kami agar tidak ikut ekskul tersebut.

Aku pun terpengaruh. Apalagi ditambah dengan pikiran-pikiranku sendiri; bahwa Aku akan mendapat perlakuan tidak menyenangkan ketika ikut ekskul itu, dan juga akan berkurangnya waktuku untuk bisa pulang lebih cepat (kegiatan ekskul bahasa jerman saja kutinggalkan karena alasan ini, apalagi kamsis?).

Keadaan hampir saja berubah ketika suatu siang, 2 orang aud mendatangi kelasku. Aku dan beberapa teman yang (selalu) nongkrong di pojokan depan pintu kelas, menjadi sasaran pertanyaan mereka. Ternyata mereka sedang mencari salah seorang temanku.

"Si ini mana?", katanya sambil menyebutkan nama seorang temanku.
"Tak tahu. Mungkin lagi makan di kantin," jawabku.
Aku memandangi kedua aud itu, dan mengenali salah satunya. Ya, salah satu dari mereka pernah kulihat sedang berada di ruang rohkris--rohani kristen; kumpulan siswa-siswi kristen di 70. Dan, si penanya itulah yang kulihat dulu.

Mereka terlihat bingung karena yang dicari tidak ada.
"Gimana ni?"
"Ya sudah,seleksi tampang saja," kata si penanya tadi.
Dia segera menatapi kami lekat-lekat.

Setelah seksama menatapi wajah kami, dia menunjuk Aku.
"Lo! Ikut kamsis ya! Besok Jumat dateng latihan di GOR Bulungan!" katanya, agak memaksa.

Dag dig dug Aku dibuatnya. Ternyata mereka anggota kamsis!

Teringat kata wali kelasku tadi. Teringat juga prasangka-prasangkaku tentang ekskul "ilegal" itu.Teringat juga pada ibu di rumah, "Apa kata dia nanti, kalau Aku ikutan ekskul beginian?"

Dalam sepersekian detik, Aku ingat apa yang baru kuingat sebelumnya: si penanya adalah anggota rohkris juga. Ditambah lagi, setiap Jumat, pada jam yang sama dengan latihan kamsis, rohkris selalu ada kegiatan. Segera saja kujawab,
"Wah, Aku tak bisa. Tiap Jumat ikut rohkris."
Dia lalu mulai melihat-lihat teman sekelilingku. Aku pun masih was-was, kalau-kalau alasanku itu tidak memuaskannya dan tetap menjadikan Aku anggota ekskul mereka.

Mungkin karena merasa tidak menemukan pengganti dengan tampang yang layak diseleksi, dia dan temannya pun pergi meninggalkan kami. Mereka lalu berjalan menjauh menuju ke kelas lainnya. Aku pun ditinggalnya dengan hati lega. Sepertinya, alasan penolakanku tepat sekali, walaupun selama SMA, sebenarnya Aku juga jarang sekali ikut kegiatan rohkris.

Semenjak itu, tak pernah ada anak kamsis yang datang ke kelasku dan melakukan seleksi tampang lagi. Dan, kamsis pun lalu lebih dikenal sebagai sismak, mungkin untuk menyamarkan ke-ilegalannya tadi.

Cerbung - Simulasi Jadi Stimulasi

written by : F.A. Triatmoko H.S


Selama menjadi utas, keadaan belum aman sebelum kami belum memiliki nama angkatan. Agit-agit masih sering berkeliaran di lantai 3, sengaja menyebarkan aroma ketakutan diantara kami semua atau sekedar iseng mencari utas yang cantik.

Setelah kami menjadi Trabalista, barulah mereka agak jarang menyambangi kami. Ketakutan kami pun mulai berkurang. Mereka baru akan dengan senang hati naik hanya jika terjadi hal-hal khusus di lantai 3. Dan hari itu, terjadilah..

--

Selepas tubir pertama, secara tak sadar kami pun jadi senang hal-hal yang berbau keributan. Salah satu wujudnya adalah dengan perang-perangan antar kelas. Kalau dilihat, menjadi semacam simulasi tubir.

Simulasi ini sendiri akan melibatkan kelas kami, CLEPPTO dengan kelas sebelah, yang menyebut dirinya SHABU SHABU (katanya, singkatan dari SHAtu B Unik SHAtu B Ucul). Tentunya, simulasi ini hanya akan diikuti oleh pria-pria dari kedua kelas, tanpa adanya para wanita.

Beberapa lelaki kelasku sudah bersiap, begitu pula lelaki kelas sebelah. Kapur tulis lengkap dengan bungkusannya dan penghapus papan tulis, sudah siap di genggaman kami. Kelas sebelah pun siap dengan persenjataan serupa. Tenaga ekstra sudah juga disiapkan untuk menjalani simulasi.

Saatnya tiba juga. Jejaka dari kedua kelas pun saling maju perlahan dengan tatapan ganas hendak membunuh. Kapur sudah siap dilontarkan. Tangan-tangan sudah siap untuk menarik badan lawan. Penghapus papan tulis sudah siap untuk mendandani siapapun personil lawan yang berhasil ditawan.

Dan simulasi pun dimulai.

Kapur-kapur yang telah dipatahkan kecil-kecil, beterbangan kesana kesini. Menghantam tembok. Menimpa wajah atau badan siapapun yang dilemparinya. Tangan-tangan mulai menggapai-gapai, mencoba menarik siapapun yang kala itu akan bernasib sial. Kadang kalau sukses, seorang yang sial tersebut akan merasakan dandanan spesial ala 70. Celana abu-abunya akan penuh dengan coretan kapur. Wajah,baju, rambutnya akan berlumuran debu-debu kapur dari penghapus papan tulis. Bahkan, kancing baju pun akan dicopot-copoti. Dan kalau kami sedang garang, si sial itu akan mendapati dirinya sedang coba ditelanjangi.

Seru sekali saat itu, sampai terjadilah suatu hal: salah seorang teman kami ada yang melemparkan sebuah kardus bekas yang basah.

Bak orang yang akan jatuh (namun belum tertimpa tangga), kami pun akan segera jatuh, saat kardus basah tersebut melayang ke udara dan jatuh di lantai 2.

Ya, lantai 2 berarti lantainya AGIT!

Kericuhan yang tercipta selama beberapa menit itu, seketika mulai padam. Kami, dengan jantung berdegup keras, berebutan berlari masuk ke dalam kelas. Saat itu sudah terbayang dalam benak kami: akan ada agit yang naik, mengomeli, dan memberikan tamparan mesra di pipi kami.

Dan benar.

Beberapa agit sudah terlihat berjalan menuju depan kelas kami dengan tergesa. Wajah mereka datar. Mata mereka menatap tajam dan seperti siap menusuk mata kami.

Sesampainya di depan pintu kelas,
"UTAS!!"
Kami seperti tersambar kena petir tiba-tiba. Seluruh kelas terdiam. Cowok-cowok di kelas kami tertunduk. Ketakutan menggelayut diantara kami. Kami mencoba pura-pura tidak tahu apa yang terjadi, dan berharap agit itu akan memaafkan kami.

Tapi kami gagal. Kami pun berdiri dan bergerak meunuju agit yang terlihat sedang naik pitam itu.
"PLAK!"
"PLAK!"
"PLAK!"
"PLAK!"
"PLAK!"
"PLAK!"
Satu persatu, anak cowok kelas kami mendapat hadiah dari agit. Mungkin balasan atas hadiah yang kami kirimkan sebelumnya.
"Jangan ulangi lagi!", ujar sang agit sambil beranjak pergi.

Kami mulai berani keluar kelas sambil terus mengelus-elus pipi bekas tamparan agit itu. Anak-anak dari kelas sebelah juga mulai terlihat keluar dari persembunyiannya, selepas agit itu turun. Mereka, tampaknya kasihan dengan kami, namun juga terlihat tertawa kecil. Penyebabnya, ternyata mereka tak mendapati tamparan yang sama seperti kami. Hanya kamilah yang hari itu sedang tak hoki.

Tapi paling tidak, kami belajar hal baru hari itu. Lain kali, kami harus lebih hati-hati jika mau bersimulasi, jangan sampai ada apapun yang bisa menstimulasi agit-agit untuk mampir dan melukisi pipi kami.


~ salah satu yang agit yang kuingat menampari kami, adalah seorang dengan rambut agak botak, kulit putih, dandanan lebih gaul daripada agit yang pernah menampari kami dulu, dan berbibir merah.
.

Cerbung - CeLas satoe Pojok Paling TOp

written by : F.A. Triatmoko H.S.

Di suatu pagi yang biasa, Aku dan beberapa teman sedang berjongkok ria di depan pintu kelas, tepat di tembok di samping pintu. Tiba-tiba, beberapa orang agit naik dari lantai 2, dan bergerak menuju arah kami. Dag dig dug, kami dibuatnya. Mau kabur masuk ke dalam kelas, tapi kami sudah terlanjur ditatapi mereka. Mau diam saja, tapi curiga kami bakal kena tamparan. Ah, ya sudahlah, kami terima nasib dan diam saja.

Kelasku itu 1 A, berada di lantai 3, paling ujung, dan menghadap ke arah jalan Bulungan. Letaknya cukup strategis, karena dari pojok itu, Aku bisa melihat ke lapangan basket dan climbing wall di bawah, melihat pintu kejaksaan agung di samping kanan, dan memantau jalan Bulungan (kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak diharapkan). Di pojokan itulah, kami menyerahkan diri pada roda nasib.

Agit-agit yang datang tadi, mereka mendekati kami. Namun baukan kami yang menjadi incaran. Ternyata mereka berdiri lalu memandangi sekitarnya dari pojok tempat kami berjongkok. Lalu mereka mulai bercakap satu dengan lainnya. Sedangkan kami, hanya bisa terdiam. Terdiam, padahal jika jantung kami bisa bicara, pasti saat ini dia sedang bernyanyi lagu-lagu cadas, sambil terengah-engah, dan akan pingsan dalam beberapa saat lagi.

Salah seorang dari mereka, yang berbadan kurus, muka berjerawat, dan memakai topi yang dikenakan terbalik, berbicara ke arah kami.
"Nama kelas kalian apa?"
"Tak tahu kak."
"Jaman kami dulu, namanya CLEPPTO; CeLas satoE Pojok Paling TOp"
Ya, begitulah kalau kreatif bertemu dengan otoriter. Ide yang unik, tapi singkatannya memaksa.
"Tahun kemarin, nama kelas ini juga CLEPPTO."
Aku bisa lihat itu dari coret-coretan di meja, kursi atau tembok kelas ku.

Setelah bosan bernostalgia, pergilah mereka dari lokasi penongkrongan kami.
"Phiiiuuuhh!"
Detak jantung mereda. Suara-suara kami pun mulai terdengar lagi, setelah beberapa saat lenyap. Kehidupan pun berjalan normal kembali. Kami kembali nongkrong di pojokan. Temanku yang tadinya sibuk mengerjakan PR, tetap terlihat sibuk mengerjakan PRnya.

Sejak hari itu, kelasku pun bernama CLEPPTO, meneruskan tradisi kelas satu di pojok yang katanya paling top.

Cerbung - 1...! 2....!! 3....!!!! Pertama

written by : F.A. Triatmoko H.S.


Setelah memiliki nama angkatan sendiri, kami pun dibekali tempat tongkrongan sendiri. Lokasinya pun tak jauh, kurang lebih 300-400 meter dari gerbang sekolah. Letaknya di sebelah Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP). Namanya Abor!

Abor itu singkatan dari apotik borobudur (kalau Aku tidak salah). Konon, angkatan jaman dulu, ada yang sering nongkrong disini dan menamakan dirinya dengan sebutan Abor.

Kami biasa ke abor kala istirahat pengayaan, mulai jam 12.00-13.00. Berbondong-bondong, biasanya kami keluar dan menuju kesana. Dan disana, biasanya kami makan, ngobrol, saling kenalan,dll.

Sampai pada suatu hari..

--

Nama angkatan kami belum dikenal banyak orang. Nah, menurut kami, cara efektif untuk mencapai ketenaran tentunya dengan tubir. Semakin banyak tubir=semakin banyak kami menyebut nama angkatan=semakin banyak pula siswa sekolah lain kenal angkatan kami. Maka, kami kemudian memutuskan melakukan penyerangan terhadap SMA Triguna yang letaknya tak jauh dari abor.

Sekitar 10-20an anak Trabal berkumpul di abor saat jam istirahat. Ada yang terlihat memunguti batu-batu. Ada yang menyembunyikan penggaris besi. Dan ada yang menyiapkan sapu tangan sebagai pelindung agar wajahnya tak dikenali. Setelah siap, segera kami bergerak menuju Triguna.

Begitu dekat dengan sasaran, beberapa dari kami memancing siswa Triguna keluar dari sekolahnya. Teriakan-teriakan bernada dan berisi provokasi pun segera terdengar bersahut-sahutan. Nama angkatan kami pun terdengar berkumandang diantaranya, seperti terompet yang ditiup saat hendak perang. Strategi ini membuahkan hasil dan mereka pun keluar sarang.

"1..!2...!!3....!!!" komando serbuan lantas terdengar. Teriakan-teriakan lainnya segera bermunculan; biasanya isinya berupa kata umpatan. Batu pun mulai beterbangan di sana sini. Suara keras tumbukan aspal jalanan dengan batu juga mulai muncul.

Kulihat seorang temanku, membawa tas di sampingnya, sambil merogoh isi tas tersebut. Saat hampir dekat dengan Triguna, dikeluarkanlah penggaris besi hasil modifikasinya sendiri. 30 cm panjangnya, dengan sisi-sisi yang telah diasah. Tapi sepertinya, penggaris itu tak sempat memakan korban. Mungkin ia masih ragu menggunakannya. Beberapa lainnya juga masih terlihat menahan diri untuk terlibat dalam penyerbuan ini.

Aku pun tak ingin melewatkan kejadian ini. Maklum, ketika SMP, penyeranganku ke SMP lain berakhir di depan salon. Waktu itu, saat hendak menyerang, suara sirene polisi terdengar kencang. Kamipun berlari berhamburan membubarkan diri. Aku dan beberapa temanku memutuskan untuk sok tenang, duduk-duduk sambil pura-pura tak tahu apa-apa di depan sebuah salon.

Kuambil segera, beberapa batu yang kulihat. Kusiapkan tenaga untuk melentingkan batu itu, dan iyaaaak! Walau dengan malu dan takut takut, batu terlempar dengan lancarnya ke arah depan. Tak tahu Aku, apakah dia mengenai sasaran atau hanya akan menimbulkan suara seperti suara perkusi saja. Beberapa batu lain segera bernasib sama.

Saat sedang asyik mempraktikkan teori gravitasi dari Newton, tiba-tiba sebuah mobil polisi datang ke TKP. Kami terkaget.
"Isilop!! Ada isilop!"
Kami perlahan mundur dari penyerangan. Penggaris besi yang tadinya teracung acung, kini sudah bersembunyi kembali di tas temanku.

Kami pun hendak menghentikan serangan, sampai..
"Udah, serang aja!" kata seorang polisi di dalam mobil itu. Kontan, kami pun bergerak semakin gencar ke arah Triguna.

Teriakan semakin menjadi-jadi. Batu-batu kembali berlontaran, namun kali ini lebih banyak. Kami semakin semangat menggempur karena merasa sudah mencium bau kemenangan. Kehadiran polisi di arena tawuran tak menggentarkan kami. Siswa Triguna pun hanya bisa bertahan dari serbuan kami sambil balas menimpuk dari depan gerbang sekolahnya.

Setelah kurang lebih 20 menit, pertempuran pun berhenti. Sudah tak ada lagi batu-batu yang terlempar. Yang tersisa tinggalah teriakan-teriakan umpatan dan juga "kartu nama" kami di siswa-siswa Triguna,
"TRABALISTA NI!"

Kami pun menutup tubir pertama angkatan Trabalista dan bergegas kembali ke sekolah, karena sebentar lagi jam 13.00 dan gerbang sekolah akan segera ditutup.